Gerindra Nilai Filosofi Gangguan Keamanan Dibutuhkan UU Terorisme

Yazir Farouk Suara.Com
Minggu, 04 Juni 2017 | 21:55 WIB
Gerindra Nilai Filosofi Gangguan Keamanan Dibutuhkan UU Terorisme
Ilustrasi terorisme. [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Ferry Juliantono menilai filosofi gangguan keamanan dan kepentingan negara menyangkut bahaya terorisme ataupun separatis dibutuhkan dalam revisi UU no 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

"Filosofi Penegakan hukum dalam UU Terorisme harus dilengkapi dengan filosofi tentang gangguan keamanan dan kepentingan negara baik menyangkut bahaya terorisme ataupun separatis," kata Ferry dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu [4/6/2017) dikutip dari Antara.

Ferry menjelaskan paradigma RUU Terorisme memang seharusnya menjangkau filosofi mempertahankan karena ancaman kedaulatan negara. Sehingga penggunaan asas "Principle of Clear and Present Danger" adalah sesuatu yang dibenarkan.

Prinsip itu menurut dia adalah Hukum Darurat Berlaku bagi Kondisi Darurat dan kondisi darurat menempatkan kedaulatan negara sebagai prioritas negara yang sesuai doktrin dan yurisprudensi universal.

Baca Juga: Kalahkan Vinales, Dovizioso Juarai MotoGP Italia

"Doktrin dan yurisprudensi universal itu menyebutkan 'the protection of human right must yield for all cases of clear and present danger' serta sudah sesuai dgn Ketetapan MPR No VII TH 2000 dan pasal 30 UUD 1945 pasal 30," ujarnya.

Menurut dia, perubahan filisofi itu menjadi dasar kebersamaan TNI-Polri dalam pencegahan dan penindakan terorisme.

Ferry menilai sebaiknya kedua institusi tersebut terlibat agar bisa dicegah efek negatif dalam pelaksanaan UU Terorisme seperti yang dikhawatirkan masyarakat.

Namun Ferry mengingatkan bahwa UU tersebut harus dibuat secara rinci sehingga meminimalisir adanya pasal yang multi-tafsir.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo ingin unsur TNI dapat terlibat dalam praktik antiterorisme dan meminta keterlibatan TNI dicantumkan dalam Rancangan Undang-Undang Terorisme yang hingga kini masih dibahas di DPR RI.

Baca Juga: Seram! Begini Gaya dan Ciri-ciri Persekusi

"Berikan kewenangan kepada TNI untuk masuk di dalam RUU ini. Tentu saja dengan alasan-alasan yang saya kira dari Menko polhukam sudah mempersiapkan," ujar Jokowi dalam sidang kabinet paripurna di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Senin (29/5).

Presiden Jokowi sekaligus meminta Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto mendesak DPR untuk menyelesaijan RUU tersebut.

Wakil Ketua Panitia Khusus revisi UU no 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Hanafi Rais mengatakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme akan menjadi unsur utama atau "leading sector" dalam mengkoordinasikan kerja pemberantasan tindak pidana terorisme yang akan diatur dalam UU tersebut.

"Jadi yang mengkoordinasikan itu BNPT nanti kurang lebih bisa setingkat menteri yang akan mengkoordinasikan seluruh sektor terkait pemberantasan terorisme di TNI, Polri, Intelijen lalu Kemenag dan lain-lain," kata Hanafi di Gedung Nusantara II, Jakarta, Rabu (31/5).

Dia menilai perlu adanya "leading sector" yang mengkoordinasikan kerja pemberantasan tindak pidana terorisme dan dalam RUU Terorisme yang sedang dibahas di DPR ini berisikan banyak hal mulai dari pencegahan, penindakan, dan penanganan pasca aksi teror terjadi.

Menurut Hanafi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bisa menjadi "leading sector" dalam penanganan terorisme seperti itu.

"(Pimpinan BNPT nanti) dikombinasikan keduanya (Polri-TNI). Sekarang kan juga sudah dikombinasikan," ujarnya.

Selain itu menurut Hanafi, keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme sudah terdapat dalam UU Terorisme yang lama namun dalam revisi UU tersebut sedang diatur proporsi wewenang TNI dan Polri dalam memberantas terorisme.

"Pertama, selain ini punya dasar dalam UU Terorisme, dalam revisi UU ini yang sedang berjalan di pansus ini, perlu dibuat proporsi keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme," katanya.

Politisi PAN itu menjelaskan wewenang Polri dan TNI dalam pemberantasan terorisme harus dibedakan, salah satu caranya adalah dengan tingkat ancaman untuk negara seperti apa.

Hanafi menilai ancaman terorisme seperti yang terjadi pada peristiwa di Kampung Melayu bisa ditangani Kepolisian dan sementara untuk aksi-aksi terorisme yang mengancam pertahanan serta kedaulatan negara ditangani TNI.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI