Suara.com - Ketua Badan Hukum Front Pembela Islam Sugito Atmo Pawiro akhirnya bersikap atas isu persekusi yang marak belakangan ini. Persekusi dalam konteks ini yaitu pemburuan terhadap akun-akun media sosial yang isinya diduga menghina tokoh agama.
"Sekelompok orang mendapat pembiaran untuk menjatuhkan citra, menghina, memprovokasi dan menebar kebencian kepada ulama dan beberapa tokoh Islam, melalui jejaring media sosial. Secara terang-terangan menghasut (agitasi) dan bahkan melontarkan fitnah keji di luar batas toleransi untuk menjatuhkan kredibilitas moral ulama dan pemuka agama Islam yang gencar melakukan kegiatan amar ma’ruf dan nahi munkar terhadap penyelenggaraan negara yang sewenang-wenang," kata Sugito melalui pernyataan tertulis yang diterima Suara.com.
Sugito mengatakan satu di antara tokoh agama yang diolok-olok di media sosial yaitu Habib Rizieq Shihab, pimpinan FPI. Sugito menilai ada pembiaran terhadap aksi menghina Rizieq di media sosial.
"Setelah dilaporkan kepada polisi dengan berbagai dugaan pelanggaran hukum tanpa bukti otentik yang memadai, Habib Rizieq kemudian di-bully dengan berbagai rumor tak sedap melalui media sosial. Seluruhnya berisikan pernyataan hinaan, makian, provokatif, dan bahkan fitnah," kata dia.
Menurut Sugito sebagian anggota masyarakat yang mencintai ulama yang diperlakukan tak seperti itu berharap agar negara melalui institusi penegak hukum proaktif dan cepat merespon perilaku tak bertanggungjawab di media sosial.
"Namun apa hendak dikata, institusi negara justru diam, tidak terlibat dalam upaya mengendalikan, dan sangat kentara melakukan pembiaran. Absennya institusi negara dalam merespon upaya menertibkan masyarakat dari perbuatan menebarkan kebencian terhadap kelompok agamis dan para ulama, pemuka umat Islam tersebut, melahirkan kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap kinerja negara," kata Sugito.
"Secara naluriah, sporadik dan spontan maka para pendukung dan pengikut pemuka agama mengambil sikap sendiri untuk berinisiatif menghentikan tindakan penghinaan, penistaan, dan penebar kebencian terhadap ulama tersebut. Beberapa insiden kemudian menjelma menjadi konflik dengan kekerasan secara horizontal (antara anggota masyarakat sendiri)," Sugito menambahkan.
Tudingan persekusi
Menurut Sugito sangat mudah untuk menelaah mengapa persekusi kemudian menjadi isu sentral yang dihembuskan kepada FPI, menyusul adanya aksi-aksi beberapa anggota atau simpatisan FPI yang mendatangi kediaman pemilik akun media sosial yang mengolok-olok Rizieq.
Sugito mengatakan seyogyanya merespon lebih cepat terhadap aktivitas pemilik akun yang mengolok-olok Rizieq, tentu tak akan seperti sekarang kejadiannya.
"Namun realita yang muncul justru sebaliknya. Aparatur negara ini justru melakukan pembiaran dan tidak menegakkan keadilan guna melindungi ulama sebagai warga negara dari tindakan melawan hukum para penista ulama," kata dia.
Sugito kemudian menyinggung langkah polisi yang begitu cepat menangani kasus percakapan mesum dan foto porno yang dituduhkan kepada Rizieq dan Firza Husein.
"Negara bahkan menerima bahan-bahan (raw-material) fitnah berupa chatting palsu via whatsApp yang disinyalir berisikan konten porno dari ponsel Firza Hussein yang disita kepolisian. Polisi bahkan menerima begitu saja chatting porno yang dipublikasikan melalui situs tak dikenal baladacintarizieq sebagai barang bukti dalam hukum acara pidana. Sebah lakon yang dimainkan institusi negara secara tidak berkeadilan, diskriminatif dan konyol," katanya.
Sugito menambahkan ketika institusi negara malfunction, akan timbul simpati dan dukungan dari pengikut agama yang mendukung sepak terjang ulama dalam menyingkirkan kebathilan di negeri ini.
"Seolah-olah negara tak lagi bisa diharapkan untuk menegakkan hak-hak hukum ulama sebagai warga negara yang semestinya berkedudukan sama di muka hukum. Yang terjadi justru rekayasa prosedur hukum untuk menjatuhkan citra ulama dalam kubangan fitnah kejam," kata dia.
Sugito mengatkan reaksi spontan dan sporadik untuk membela Rizieq kemudian menjelmah menjadi inisiatif untuk memberikan efek kejutan kepada pemilik akun yang mengolok-olok ulama.
"Secara manusiawi hal ini adalah wajar. Namun secara hukum tentu saja harus dihentikan. Tetapi sebagai warga negara yang memiliki hak yang sama untuk memperoleh keadilan, maka institusi negara juga layak dituntut untuk menghentikan segala ujaran dan fitnah terhadap warga negara lain," kata dia.
Menurut Sugito persekusi merupakan istilah yang dilontarkan kepolisian dengan menjiplak ketentuan tentang hak asasi manusia tentang kejahatan melawan kemanusian (crimes against humanity) secara universal.
Sugito mengatakan meski tidak ada dalam terminologi hukum pidana di Indonesia, kosa kata itu boleh saja digunakan. Tetapi sejatinya dipergunakan untuk melakukan refleksi, apakah persekusi lahir karena kejahatan sebagai murni gejala sosial, ataukah karena negara absen, melakukan pembiaran, tidak berkeadilan, dan diskriminatif.