Suara.com - Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, harus bisa menyudahi perkembangan ideologi yang menjadi dasar aksi-aksi teroristik.
Sebab, UU No 15/2003 tentang antiterorisme sementara ini hanya mengatur aparat penegak hukum untuk menindak aksi-aksi teroristik tanpa memunyai sistem pencegahan.
“Saya kira harus menemukan apa pusat dari adanya terorisme, apa yang membuatnya masih ada, nah, itu yang harus dimatikan,” kata Peneliti Kajian Strategis Intelijen dari Universitas Indonesia Ridlwan Habib, dalam diskusi bertajuk 'Membedag Revisi UU Anti Terorisme' di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (3/6/2017).
Menurutnya, UU antiterorisme yang ada saat ini tak bisa menyelesaikan akar masalah aksi-aksi teror. Itu dibuktikan dengan banyaknya teroris yang ditangkap setiap tahun, tapi aksi teroristik justru terus menghantui Indonesia.
Baca Juga: Ganja Bangunkan Anak Penderita Epilepsi FIRES dari Koma
“Pelaku teror di Kampung Melayu, misalnya, menjalin kontak juga dengan Aman Abdurrahman di Nusakambangan. Ini membuktikan ketia di penjara, ideologinya masih ada. Pertanyaannya, apakah pasal-pasal UU itu bisa mematikan apinya? " tuturnya.
Karenanya, Ridlwan menilai tindakan represif kurang tepat untuk memberantas terorisme hingga ke akar-akarnya. Bahkan, upaya tersebut dapat menimbulkan tindakan balas dendam dari teroris lain.
“Penangkapan bukan solusi, kalau represif bisa memicu semangat balas dendam. Kasus di Lampung 2010, Wahono, dia gagal menikah, adiknya menggantikan menikah. (Wahono) dibawa ke Jakarta, diinterogasi, di Lampung, statusnya gagal menikah. Wahono ini viral dan menjadi bahan bakar yang lain untuk menuding polisi, aparat, represif kepada umat Islam,” tutur Ridlwan.