Suara.com - Ketua Panitia Khusus Revisi Undang-Undang Anti Terorisme Muhammad Syafi'i meminta pemerintah jangan mendikte DPR untuk segera menyelesaikan revisi.
"Ya kami berjalan tetap marathon, tidak pernah melalai-lalaikan. Cuma kami juga tidak mau didikte. Jangan gara-gara kita didikte sehingga pembahasan menjadi amburadul gitu," kata Syafi'i di DPR, Rabu (31/5/2017).
Syafi'i mengatakan semangat pembahasan UU Anti Terorisme harus untuk melindungi bangsa ini, bukan cuma untuk memenuhi keinginan orang per orang.
Dia juga tidak ingin UU tersebut kelak menjadi alat politik pemerintah dengan dalih penegakan hukum.
"Hari ini kan semuanya diperuntukkan buat pemerintah, kita ingin diperuntukkan buat negara. For State, not for government," katanya.
Syafi'i mengatakan sejauh ini panitia khusus sudah merampungkan 60 persen dari total daftar inventaris masalah dalam revisi. Dia tidak ingat setiap rincian revisi yang sudah disetujui DPR.
"Yang belum, definisi, masa penahanan, itu yang paling krusial. Itu belum final. Lalu pelibatan TNI. Kemudian sudah disepakati tapi konstruksinya masih dibuat, itu mengenai penguatan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme," kata Syafi'i.
Soal definisi, kata Syafi'i, perlu penetapan yang obyektif dan proporsional mengenai siapa yang disebut teroris. Dia berharap definisi tersebut jangan sampai menyasar kepada kelompok dan agama tertentu.
"Kemudian juga persoalan definisi tindak pidana terorisme itu apa? Ancaman itu apa? Mengancam pejabat dan tokoh masyarakat dianggap terorisme atau tidak?" kata dia.
"Lalu yang dianggap krusial yaitu pelibatan TNI, perdebatan boleh nggaknya TNI lakukan pemberantasan terorisme. Itu sudah ada di UU, TNI punya kewenangan memberantas teroris. Nah, kita ingin satu nafas dalam RUU terorisme ini supaya tidak tumpang tindih," Syafi'i menambahkan.