TNI di RUU AntiTerorisme, Ini Misi Wiranto 19 Tahun Lalu?

Rabu, 31 Mei 2017 | 01:05 WIB
TNI di RUU AntiTerorisme, Ini Misi Wiranto 19 Tahun Lalu?
Menkopolhukam Wiranto [suara.com/Erick Tanjung]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dari Komisi untuk Oran Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Puri Kencana Putri menilai adanya kecemasan dari Presiden Joko Widodo melihat situasi kebangsaan belakangan ini. Penilain Puri menyusul keinginan Jokowi agar TNI dilibatkan dalam RUU Anti Terorisme yang saat ini dibahasa di DPR.

"Kami (Kontras) punya posisi yang khas setelah Presiden Joko Widodo menginstruksikan Menteri Koordinator Polituk Hukum dan Keamanan, bapak Wiranto menekankan bahwa isu terorisme harus dilawan dengan keras. Beberapa hari ini kita semua mendengar kata-kata yang khas dari pemerintah. Ada kecemasan dari Presiden Jokowi ketika dia menggunakan kata gebuk," kata Puri di Kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (30/5/2017) malam.

Kecemasan yang diungkapkan Jokowi melalui kata-kata kontroversial itu, direproduksi oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto dengan menggunakan kata-kata total dan keras dalam menyikapi tindak pidana terorisme.

"Kita ingin bilang melawan teroris harus sejalan dengan melawan praktek militerisme," ujar Puri.

Baca Juga: Ini Akibatnya Jika Pelibatan Militer Masuk UU Anti Terorisme

Puri kemudian mengungkit rekam jejak Wiranto saat menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan juga menjabat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata 19 tahun yang lalu. Saat itu, Wiranto juga menawarkan konsep RUU penanggulangan keadaan bahaya, yang kemudian mendapat kritik keras dari masyarakat sipil, hingga berujung pada tewasnya sejumlah mahasiswa pada tragedi Semanggi II.

Pernyataan Jokowi yang ingin melibatkan TNI dalam RUU Anti Terorisme, dimanfaatkan lagi oleh Wiranto untuk merealisasikan misinya 19 tahun yang lalu.

"Ada siklus, ketika bapak Wiranto menafsirkan pesan Presiden Jokowi untuk mengembalikan lagi. Dia seakan menjadi seorang promotor, agar TNI masuk ke panggung penegakan hukum," tutur Puri.

Sebelum reformasi, kata Puri, Wiranto menggunakan tunggangan RUU Penanggulangan Bahaya yang isinya menempatkan ABRI sebagai elemen terdepan apabila keamanan dan keselamatan negara berada dalam ancaman.

"Hari ini cuma satu indikatornya, bom di kampung melayu. Tapi hari ini masih ada daerah di Sulteng, yaitu Poso yang masih diterapkan keadaan darurat keamanan setelah santoso tewas, dan mereka masih mengejar 9 orang lagi," ujar Puri.

Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil Tolak TNI Diatur dalam UU Anti Terorisme

Kata dia, komposisi Polisi-TNI cukup dinamis di Poso. Tapi tidak ada hasil evaluasinya.

"Camar Maleo, Tinombala I-II nggak ada. Hari ini dengan kata pendek, kata-kata Presiden Jokowi yang kemudian ditafsirkan oleh Wiranto, seakan, kontras bisa ingat bahwa pada 19 tahun lalu, RUU penanggulangan keadaan bahaya mau diminin lagi oleh Wiranto. Dia seakan-akan punya ukuran khusus tentang apa itu darurat, tentang apa itu bahaya dan tentang apa itu terorisme," kata Puri.

Puri menaruh curiga, jangan-jangan kelompok teroris yang meneror saat ini, justru negara itu sendiri.

"Karena menciptakan UU yang kemudian ada ruang trade offnya. Ada ruang perjuangan kepada warga negara. Kalau kita mau aman, tidak ada teror bom, ini harus merelakan HAM kita. Agar negara bisa dengan kuat, keras, main gebuk untuk kelompok yang hari ini diduga sebagai teroris," kata Puri.

"Kita harus hati-hati disitu, karena sempat diuji coba 19 tahun lalu. Sepertinya kita ingin memberikan cek kosong pada negara, bahwa kita takut pada teroris dan karena itu tidak mengapa UU teroris diperketat," tambah Puri.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI