“Yang saya tulis gabungan dari buku, internet dan paling banyak pengamatan dari lingkungan sekitar. Saya bukan cuman pelaku tapi juga pengamat,’ ujar Afi.
Bagi Afi menulis merupakan cara yang bisa dilakukannya untuk memperbaiki kondisi Indonesia saat ini yang semakin luntur akan rasa kebangsaan dan semakin besar rasa benci antar sesama. Sebab tulisan adalah hal paling fundamental karena dapat langsung sampai pada genggaman setiap individu yang membacanya.
Afi sadar dengan resiko yang bakal diterima dari pembaca tulisan-tulisan yang dia unggah ke Facebook. Dia sadar tentu banyak perspektif dalam memahami sesuatu.
Itu sebabnya, ketika dia direspon negatif oleh sebagian pembaca, tetap tenang menghadapi.
Baca Juga: Rizieq Belum Mau Pulang, Pengacara Siap Gugat Polisi
“Kalau sedih saya sedih, tapi saya menerima konsekuensi dari setiap tulisan saya. Saya mengapresiasi karena ada yang memberikan feed back, berarti tujuan saya tercapai, kita tidak harus berpikir sama, tapi marilah kita sama – sama untuk berpikir,” kata Afi.
Salah satu inspirasi Afi adalah buku the magic of thinking big. Dia mengatakan jarang membalas komentar netizen di Facebook.
Seringkali dia membuka Facebook hanya untuk mem-posting tulisan. Sambil bercanda, Afi mengatakan bahwa hal itu dilakukan lantaran keterbatasan kuota internet.
Afi mengaku pernah mendapat teror berupa pembunuhan gara-gara tulisan.
“Pernah ada yang telepon jam tiga pagi bilang mau bunuh saya, tapi kan saya pikir membunuh tidak semudah itu,” ujar Afi yang kini mendapatkan tawaran beasiswa kuliah.
Baca Juga: Rizieq Jadi Tersangka, GNPF MUI Bicara Usai Buka Puasa
Tapi, dia tetap kuat berkat dukungan keluarga. Dulu, orangtua sempat membatasi aktivitasnya berselancar di dunia maya. Namun setelah mengetahui tentang postingan – postingan Afi, kini keluarganya justru memberi dukungan penuh.