Suara.com - Belakangan nama Afi Nihaya Faradisa menjadi buah bibir di media. Anak SMA itu dipuji karena keberaniannya mengungkapkan pemikiran tentang toleransi beragama di laman Facebooknya.
Pemikiran Afi juga banyak dicibir karena menyinggung kelompok tertentu. Dia hanya menuangkan pemikirannya di tengah situasi intoleransi.
“Saya hanyalah perempuan biasa yang lahir di Banyuwangi pada tanggal 23 Juli 1998,” kata Afi dalam tulisannya di Facebook.
Afi Nihaya Faradisa adalah nama anagram atau nama pena dari Asa Firda Inayah. Nama KTP Afi adalah Asa Firda Inayah.
“Afi: (A)sa (F)irda (I)nayah. Nihaya: Inayah. Faradisa: Firdaasa,” jelas perempuan asal Banyuwangi yang bersekolah di SMA Negeri 1 Gambiran itu.
Alasan Afi menggunakan nama pena karena dia ingin menyampaikan kebaikan-kebaikan secara anonim di dunia maya.
“Karena yang penting bagi saya bukanlah mengambil sebanyak mungkin keuntungan dari melambungnya nama. Karena yang penting bagi saya adalah tersampainya beragam pesan kebaikan pada sebanyak-banyaknya pembaca. Saya adalah orang yang sangat jauh dari sempurna, berjuta-juta jumlah kekurangan pada diri. Saya hanya mencoba melakukan apapun yang gadis 18 tahun bisa lakukan untuk membuat dirinya berguna. Itu saja,” papar dia.
Afi mulai dikenal karena menulis dengan judul ‘Warisan’ di akun Facebooknya 15 Mei 2017 lalu. Sampai Senin (29/5/2017) dinihari, tulisan itu sudah dibagikan sebanyak 73.576 kali, dan ada 16.848 komentar.
Wartawan mulai mendatangi rumah dan sekolahnya. Media mulai menulis ‘kehebohan’ tulisannya itu karena disebar oleh ribuan orang.
“Saya diminta berbicara di beberapa seminar. Saya tampil di televisi. Saya memenuhi undangan makan pagi dari Pak Bupati Banyuwangi. Ya, belakangan ini saya memang mendapat sorotan banyak orang, tapi hal itu bukanlah sebuah kesengajaan,” cerita dia.
Saking dianggap kontroversi, Facebook sempat suspend atau menghentikan akun Afi selama hampir 24 jam.
“Selama kurun waktu tersebut, akun saya menghilang. Saya sedih. Di depan mata, upaya saya sejak lama tiba-tiba sirna. Saya merasa bahwa inilah akhirnya,” cerita dia.
Namun warganet menginginkan akun Afi kembali.Tagar #FACEBOOKbringbackAFI pun muncul.
“Peristiwa ini menguji saya pribadi. Menguji apakah saya benar-benar bisa sebaik tulisan saya saat menghadapi persoalan sungguhan, sekaligus mengetahui mana teman yang bukan hanya datang saat senang. Beribu terima kasih pada Anda semua. Tanpa Anda, saya tidak akan bisa apa-apa,” jelas dia.
Anda bisa menjumpai Afi di akun Facebook www.facebook.com/afinihaya dan instagram @afi.nihayafaradisa.
“Selain yang saya sebutkan di atas, semuanya palsu termasuk fanpage, website, twitter, dan lainnya,” jelas dia.
Seperti apa tulisan ‘Warisan’ yang menghebohkan itu? Berikut isi lengkapnya:
WARISAN
Ditulis oleh Afi Nihaya Faradisa
Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tidak.
Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir dan di mana saya akan tinggal setelah dilahirkan.
Kewarganegaraan saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan.
Untungnya, saya belum pernah bersitegang dengan orang-orang yang memiliki warisan berbeda-beda karena saya tahu bahwa mereka juga tidak bisa memilih apa yang akan mereka terima sebagai warisan dari orangtua dan negara.
Setelah beberapa menit kita lahir, lingkungan menentukan agama, ras, suku, dan kebangsaan kita. Setelah itu, kita membela sampai mati segala hal yang bahkan tidak pernah kita putuskan sendiri.
Sejak masih bayi saya didoktrin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Saya mengasihani mereka yang bukan muslim, sebab mereka kafir dan matinya masuk neraka.
Ternyata,
Teman saya yang Kristen juga punya anggapan yang sama terhadap agamanya. Mereka mengasihani orang yang tidak mengimani Yesus sebagai Tuhan, karena orang-orang ini akan masuk neraka, begitulah ajaran agama mereka berkata.
Maka,
Bayangkan jika kita tak henti menarik satu sama lainnya agar berpindah agama, bayangkan jika masing-masing umat agama tak henti saling beradu superioritas seperti itu, padahal tak akan ada titik temu.
Jalaluddin Rumi mengatakan, "Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan; jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu,
memperhatikannya, lalu berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh."
Salah satu karakteristik umat beragama memang saling mengklaim kebenaran agamanya. Mereka juga tidak butuh pembuktian, namanya saja "iman".
Manusia memang berhak menyampaikan ayat-ayat Tuhan, tapi jangan sesekali mencoba jadi Tuhan. Usah melabeli orang masuk surga atau neraka sebab kita pun masih menghamba.
Latar belakang dari semua perselisihan adalah karena masing-masing warisan mengklaim, "Golonganku adalah yang terbaik karena Tuhan sendiri yang mengatakannya".
Lantas, pertanyaan saya adalah kalau bukan Tuhan, siapa lagi yang menciptakan para Muslim, Yahudi, Nasrani, Buddha, Hindu, bahkan ateis dan memelihara mereka semua sampai hari ini?
Tidak ada yang meragukan kekuasaan Tuhan. Jika Dia mau, Dia bisa saja menjadikan kita semua sama. Serupa. Seagama. Sebangsa.
Tapi tidak, kan?
Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat dengan agama yang sama, hal itu akan menjamin kerukunan? Tidak!
Nyatanya, beberapa negara masih rusuh juga padahal agama rakyatnya sama.
Sebab, jangan heran ketika sentimen mayoritas vs. minoritas masih berkuasa, maka sisi kemanusiaan kita mendadak hilang entah kemana.
Bayangkan juga seandainya masing-masing agama menuntut agar kitab sucinya digunakan sebagai dasar negara. Maka, tinggal tunggu saja kehancuran Indonesia kita.
Karena itulah yang digunakan negara dalam mengambil kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah Alquran, Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila, Undang-Undang Dasar '45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam perspektif Pancasila, setiap pemeluk agama bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya, tapi mereka tak berhak memaksakan sudut pandang dan ajaran agamanya untuk ditempatkan sebagai tolok ukur penilaian terhadap pemeluk agama lain. Hanya karena merasa paling benar, umat agama A tidak berhak mengintervensi kebijakan suatu negara yang terdiri dari bermacam keyakinan.
Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan pada anak cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai-berai bukan karena bom, senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan bahkan meributkan warisan masing-masing di media sosial.
Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan.
Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir.