TPDI Apresiasi Jonru Ginting Diusir Dari NTT

Sabtu, 27 Mei 2017 | 14:20 WIB
TPDI Apresiasi Jonru Ginting Diusir Dari NTT
Warga Maumere, Nusa Tenggara Timur. [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Peristiwa pengusiran Jonru Ginting oleh warga masyarakat Sikka di Pelabuhan L. Say, Nusa Tenggara Timur (NTT) patut diapresiasi. Pasalnya penolakan tersebut menunjukan bahwa warga masyarakat tetap menunjukan kecintaannya pada kedamaian, ketertiban dan ketenteraman dalam keberagaman yang sudah terjalin secara turun temurun.

Hal itu disampaikan oleh Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus, karena menilai Jonru datang untuk menyebar kebencian terhadap sesama umat muslim di Pulau Pemana, Kecamatan Alok, Maumere, NTT.

"TPDI mengusulkan agar Pemerintah Pusat perlu mendelegasikan kewenangan mengeluarkan cekal kepada Pemerintah Provinsi atau Kabupaten atau Kota untuk untuk mencekal tokoh-tokoh ormas tertentu yang kehadirannya di daerah berpotensi melahirkan konflik horizontal yang sangat mengganggu keamanan dan ketenteraman umum secara meluas," katanya melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (27/5/2017).

Baca Juga: TPDI Kritik Pembubaran HTI Tidaklah Cukup

Kata Petrus, apabila pemerintah tidak melakukan hal tersebut, maka masyarakat dikhawatirlan langsung mengambil sikap untuk bertindak sendiri. Kondisi ini justru dapat membahayakan ketertiban dan ketentraman umum, apalagi jika eskalasinya semakin meluas dan semakin tak bisa dikendalikan. Dia mendesak pemerintah agar segera menemukan jalan keluar dari kasus yang terjadi pada Jumat (26/5/2017) kemarin tersebut.

"Mengapa? Karena ketika masyarakat melihat negara absen dan membiarkan warganya secara berhadap-hadapan saling menghakimi yang satu terhadap yang lain, maka pada saat itulah negara dianggap gagal melindungi segenap bangsanya dan seluruh tumpah darahnya," kata Petrus.

Pakar hukum tersebut mengatakan harmonisasi kehidupan masyarakat Sikka yang beragama Katholik, Protestan dan Muslim dan hidup berdampingan secara damai selama puluhan tahun, tidak boleh dirusak oleh alasan apapun. Karena itu, ketika kehadiran tokoh-tokoh intoleran dan radikal, baik dari unsur FPI, HTI maupun dari unsur Partai Politik yang memiliki garis afiliasi dengan FPI dan HTI, pasti berhadapan dengan sikap resistensi masyarakat dalam bentuk pengusiran secara spontanitas.

"Peristiwa pengusiran Fahri Hamzah di Manado Sulawesi Utara bebrapa waktu yang lalu menjadi bukti bahwa kebencian masyarakat terhadap tokoh-tokoh intoleran atau radikal yang mencoba mengganggu Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945 sudah meluas. Tidak saja kepada tokoh FPI dan HTI akan tetapi juga tokoh Partai Politik yang membagun kerjasama atau afiliasi politik dengan ormas FPI dan HTI dalam Pilkada DKI Jakarta dan di tempat lain," katanya.

Menurutnya, akhir-akhir ini muncul gerakan masyarakat bersama pimpinan daerahnya (Gubernur/Bupati/Walikota) secara bersama-sama melakukan aksi ke lapangan melarang sejumlah tokoh FPI/HTI untuk masuk ke wilayahnya atas alasan ketertiban dan ketenteraman umum di daerahnya. Masyarakat setempat beralasan tidak mau kehidupan daerahnya yang rukun dan damai menjadi terganggu akibat kehadiran tokoh-tokoh FPI atau HTI atau tokoh Partai Politik lainnya. Jika kondisi ini dibiarkan maka kedua kelompok berbeda ini akan terus saling mengganggu dan mengarah ke tindakan main hakim sendiri.

Baca Juga: TPDI: Jokowi Dapat Bubarkan Ormas Radikal Tanpa Lewat Pengadilan

"Sejumlah peristiwa yang mengarah kepada konflik horizontal akibat tindakan main hakim sendiri dari dua kelompok masyarakat yang berbeda kepentingan, sering muncul akhir-akhir ini di beberapa daerah seperti Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Manado, NTT, dan lain-lain yang nyaris menghadapkan masyarakat dari dua kelompok berbeda terjadi bentrokan fisik," kata Petrus.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI