Suara.com - Pengadilan tertinggi Taiwan telah memutuskan melegalkan pernikahan sesama jenis. Perkembangan terbaru ini pun disambut berbagai reaksi di penjuru Asia, terutama dari kalangan pendukung LGBT dan pernikahan sejenis, meskipun diakui pula bahwa perjuangan mereka masih panjang.
Dalam putusan hukumnya pada Rabu (24/5/2017), hakim pengadilan tertinggi (semacam Mahkamah Konstitusi) Taiwan menyatakan bahwa undang-undang yang melarang pernikahan sejenis melanggar prinsip kebebasan menikah yang dijamin konstitusi. Dengan demikian, pernikahan sejenis dinyatakan legal dan pihak eksekutif diberi waktu maksimal dua tahun untuk menerapkan putusan itu.
Lalu, bagaimana tanggapan komunitas masyarakat Asia terhadap munculnya putusan itu? Bagaimana pula reaksi Cina yang notabene adalah "saudara tua" Taiwan?
"Kami merasa sangat bahagia," ungkap Vuong Kha Phong, asisten bidang hak-hak (LGBT) di lembaga advokasi iSEE di Vietnam. "Ini adalah sebuah kemenangan historis bagi komunitas LGBT di Asia," sambungnya.
Pernikahan sejenis sejauh ini diketahui dilegalkan di sekitar 20 negara di dunia, di mana sebanyak 13 di antaranya berada di Eropa. Selandia Baru juga termasuk negara yang melegalkan pernikahan sejenis. Artinya, Taiwan dengan putusan ini menjadi yang pertama di Asia.
"Meski saya kira masih panjang jalan menuju munculnya hal yang sama di seantero Asia, saya pikir beberapa negara Asia Timur, seperti Jepang dan Vietnam, mungkin lebih siap untuk legislasi persamaan hak (bagi LGBT)," tutur Ray Chan, legislator pertama di Hong Kong yang terang-terangan mengaku gay.
"Saya bisa memprediksi akan banyak pasangan (sejenis) di Hong Kong yang bakal menikah di Taiwan. Dan saat mereka kembali, mereka akan mendesak pemerintah bahkan juga sektor swasta, untuk mengakui status mereka, karena undang-undang, kebijakan dan aturan saat ini benar-benar diskriminatif," tambahnya, seperti dikutip AFP.
Lantas, bagaimana dengan Cina? Sejumlah aktivis gay di negeri itu mengaku memiliki optimisme bahwa perkembangan terbaru di Taiwan akan memberi angin segar. Apalagi jika merujuk pada hubungan budaya Cina dan Taiwan yang bisa dikatakan berasal dari garis yang sama.
"Taiwan dan Cina dararan memiliki akar dan budaya yang sama, jadi artinya masyarakat Cina harusnya juga bisa menerima ide (pelegalan) pernikahan sejenis," unkap Li Yinhe, akademisi, seksolog sekaligus juga aktivis LGBT di Cina.
Kendati demikian, sejauh ini belum ada respon atau komentar resmi dari pihak berwenang di Cina. Yang pasti adalah bahwa sampai saat ini, kaum LGBT masih berada dalam posisi minoritas dan sulit bergerak di negeri itu. Bahkan tahun lalu, upaya sepasang gay untuk menikah pun telah ditolak pengadilan di Cina.
Seperti dikutip Bloomberg pula, Li Yinhe menambahkan bahwa sebenarnya ada kesulitan mendasar di Cina dalam mengikuti perkembangan seperti di Taiwan saat ini. Bahkan meski pemerintah Cina beberapa tahun terakhir kerap menggaungkan "Satu Cina" atas hubungan Cina dan Taiwan, ia mengingatkan kuatnya sistem politik di Cina sebagai halagan terberat.
"Jika kami memang berasal dari budaya dan ras yang sama, lalu apa yang membuat adanya perbedaan ini? Sistem (politik). Ini adalah persoalan yang berakar dari sistem," tuturnya, merujuk pada kontrol penuh Partai Komunis di Cina yang menguasai semua level pemerintahan, sehingga tekanan dari publik pun nyaris tak ada.
Terkait putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen sudah menyatakan akan segera mengakomodir dan menerapkannya. Persamaan hak-hak bagi kaum LGBT memang sudah menjadi salah satu janji Tsai sejak masa kampanyenya lalu hingga akhirnya terpilih. Kini, janjinya untuk segera menerapkan putusan itu pun mungkin bakal menambah jarak antara negerinya dengan Cina yang konon berniat melakukan "reunifikasi secara damai".
Chung Chia-pin, salah seorang legislator Taiwan dari partai yang sama dengan Tsai yakni Partai Progresif Demokratis, menganggap bahwa masyarakat Cina sendiri pada dasarnya menghargai nilai-nlai yang sama dengan masyarakat Taiwan. Dalam hal ini, dia mengamini pandangan Li.
"Kami pikir masyarakat Cina tidak berbeda dalam hal nilai-nilai dibandingkan masyarakat di Taiwan. Ini (hanya) merupakan akibat dari sistem politik yang berbeda, sekaligus praktik demokrasi yang berbeda selama ini," ujarnya.
Sementara itu, legislator Taiwan lainnya dari partai oposisi Kuomintang, Kung Wen-chi, memandang bahwa putusan soal pernikahan sejenis itu tidak akan sampai menjauhkan lagi "jarak" antara Taiwan dan Cina.
"Kami (Taiwan) bisa saja mendapatkan respek, menerima sejumlah dukungan dari masyarakat internasional, tapi itu bukan berarti bakal mengubah hubungan lintas-selat (antara Taiwan dan Cina)," ucapnya.
"Yang harus digarisbawahi dari hubungan lintas-selat ini adalah bahwa kedua pihak (wilayah) merupakan bagian dari 'Satu Cina', dan itu belum berubah sama sekali," tegasnya lagi.
Di bagian lain, Taiwan News memberitakan bahwa putusan pelegalan pernikahan sejenis itu pun mendapat perhatian dan reaksi cukup besar di tengah masyarakat Cina. Setidaknya hal itu jika melihat pada percakapan di media sosial terpopuler Cina, Weibo. Tercatat dalam 24 jam sejak kabar itu menyebar, hashtag #TaiwanSameSexMarriageLegalized dipakai oleh lebih dari 11 juta pengguna Weibo.
Banyak di antara pengguna medsos Cina itu yang tampaknya menyambut positif kabar tersebut. Bahkan, dengan menyindir sejumlah pihak yang masih menyebut Taiwan sebagai area atau daerah bagian dari Cina, salah satunya ada yang melontarkan pertanyaan sekaligus kesimpulan menarik.
"Jika Taiwan adalah salah satu provinsinya Cina, maka bukankah itu berarti bahwa Cina (kini) menjadi negara pertama di Asia yang melegalkan pernikahan sesama jenis?" tutur pengguna Weibo yang tak disebutkan namanya itu.
Baca Juga: Anggota FPI Calon Komnas HAM: Jangan Kucilkan, Jangan Sakiti LGBT