Dari kepala burung garuda//Ia melihat Indonesia//Lihatlah hidup di desa//Sangat subur tanahnya//Sangat luas sawahnya//Tapi bukan kami punya.
Lihat padi menguning//Menghiasi bumi sekeliling//Desa yang kaya raya//Tapi bukan kami punya.
Lihatlah hidup di kota//Pasar swalayan tertata//Ramai pasarnya//Tapi bukan kami punya.
Lihatlah aneka barang//Dijual belikan orang//Oh makmurnya//Tapi bukan kami punya.
Baca Juga: Harga BBM Tak Naik Jadi Beban Pertamina
Jaka terus terpana//Entah mengapa//Menetes air mata//Air mata itu ia yang punya.
Masuklah petinggi polisi//Siapkan lakukan interogasi//Kok Jaka menangis?//Padahal ia tidak bengis?//Jaka pemimpin demonstran//Aksinya picu kerusuhan//Harus didalami lagi dan lagi.
Apakah ia bagian konspirasi?//Apakah ini awal dari makar?//Jangan sampai aksi membesar?//Mengapa pula isu agama//Dijadikan isu bersama?//Mengapa pula ulama?//Menjadi inspirasi mereka?
Dua jam lamanya//Jaka diwawancara//Kini terpana pak polisi//Direnungkannya lagi dan lagi//Terngiang ucapan Jaka//Kami tak punya sawah//Hanya punya kata//Kami tak punya senjata//Hanya punya suara.
Kami tak tamat SMA//Hanya mengerti agama//Tak kenal kami penguasa//Hanya kenal para ulama//Kami tak mengerti//Apa sesungguhnya terjadi//Desa semakin kaya//Tapi semakin banyak saja//Yang bukan kami punya.
Baca Juga: Jika Densus Tipikor Dibentuk, Jangan Sampai Jadi Alat Politik
Kami hanya kerja//Tapi mengapa semakin susah?//Kami tak boleh diam//Kami harus melawan//Bukan untuk kami//Tapi untuk anak anak kami.