Suara.com - Tempat prostitusi gay di salah satu ruko daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara, yang memakai tempat gym diyakini sudah beroperasi sejak lama.
"Hasil interogasi (pengelola berinisial CD), kegiatan ini sudah tiga tahun lalu. Tapi mulai digunakan kegiatan ini setahun lebih (pesta gay). Sabtu - Minggu cukup ramai. Tiap Minggu adakan event pertunjukan striptease," ujar Kapolres Jakarta Utara, Komisaris Besar Dwiyono, Senin (22/5/2017).
Dwiyono mengatakan tempat tersebut menggunakan izin usaha gym.
"Ini Izin dari tempat itu adalah untuk fitness, namun tidak ada plang berkaitan dengan fitness atau lainnya. Cuma ada nama kecil PT. Altlantis Jaya. Tapi di dalam di lantai satu di situ memang ada gym, tapi kosong," katanya.
Baca Juga: DPR Tanyakan Kasus Pesta Gay Kelapa Gading kepada Tito, Besok
Ruko Atlantis Jaya terdiri dari empat yang berukuran masing masing sekitar 8 x 10 meter persegi.
"Untuk di lantai satu itu, fasilitas fitness untuk mengelabui kepada petugas yang melakukan pengecekan tempat," kata Dwiyono.
Lantai dua untuk kegiatan sauna dan dipakai buat tamu acara pesta.
"Itu bertemunya para homo dan juga sebagai tempat arena striptease homoseks di depan pengunjung," ujar Dwiyono.
Lantai tiga merupakan dark room. Di lantai ini terdiri dari 16 kamar untuk aktivitas seks. Di sana juga ada kolam renang pribadi.
Baca Juga: Internasional Ramai Beritakan Penangkapan Gay di Atlantis Gym
"Kami cek itu di lantai tiga gelap. Tapi ada kamar-kamar yang dipakai untuk pesta seks. Kami temukan ada bekas - bekas kondom. Lantai empat ruang VVIP Yacuzi, tempat kolam pribadi para sepasang homosex," ujar Dwiyono.
Semalam, polisi mengamankan 141 orang dari lokasi tersebut. Sebanyak 10 orang hari ini ditetapkan menjadi tersangka. Mereka terdiri dari CD, N (27) dan D (27) kasir, RA (28) petugas keamanan. Sedangkan enam orang lainnya, SA, BY, R, TT, A, dan S, merupakan penari striptease.
Komunitas Arus Pelangi mengecam tindakan anggota Polres Jakarta Utara yang menangkap 141 orang dengan tuduhan terlibat prostitusi gay.
"Menurut kami tindakan itu dilakukan sewenang-wenang. Ditangkap dengan tidak manusiawi, ditelanjangi, digiring seperti hewan, dan tidak mengenakan pakaian," kata aktivis Arus Pelangi, Lini Zurlia, kepada Suara.com.
Saat ini, Arus Pelangi dan sejumlah lembaga advokasi tengah mendampingi mereka di kantor polisi. Lini mengaku sangat prihatin dengan keadaan mereka.
"Sampai detik ini, kami masih dampingi korban. Mereka ditangkap dari semalam jam 20.00 WIB, belum makan sejak semalam. Kami sangat sesalkan tindakan sewenang-wenang ini," kata dia.
Lini menekankan tindakan polisi tidak memiliki dasar hukum. Tindakan penangkapan tersebut, kata dia, telah melanggar hak pribadi warga.
"Yang harus di-highlight, tindakan menyebarkan data pribadi korban. Ancaman terhadap," kata dia.
Lini menyebut penangkapan tersebut sebagai preseden buruk kepada kalangan minoritas di negeri ini.
Lini menuntut polisi jangan lagi menyebarkan data pribadi tentang mereka. Dia menyayangkan polisi sebelumnya menyebarkan foto-foto mereka.
"Tidak sebarkan foto dan informasi video dan lain. Karena hal tersebut dapat menurunkan harkat dan martabat kemanusiaan korban," kata dia.
Lini menuntut polisi mengedepankan pemenuhan azas praduga tak bersalah dalam menangani kasus tersebut.
"Mereka kan baru ditangkap dan belum didakwa melakukan kesalahan. Jadi harus dipenuhi azas praduga tak bersalahnya. Setelah pemeriksaan, harus dibebaskan, tidak bisa langsung ditahan," kata Lini.
Ketika ditanya, dari hasil pendampingan yang telah dilakukan, apa sesungguhnya yang dijadikan dasar penindakan terhadap mereka, Lini mengatakan Arus Pelangi hanya konsentrasi mendampingi korban untuk mendapatkan hak.
"Kami konsen pada hak korban, mengawasi agar jangan menjadi korban kesewenang-wenangan. Kalau soal event atau kegiatan mereka kami betul-betul tidak ada komentar karena itu hak pribadi, hak setiap warga," kata dia.