Suara.com - Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Abdulaziz al-Saud, sepihak menuding Iran sebagai penyebar paham terorisme secara internasional. Namun, Raja Salman tidak bisa menunjukkan bukti-bukti untuk menguatkan tudingan tersebut.
Pernyataan provokatif itu, dilontarkan Raja Salman di saat menerima kunjung Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Riyadh, Minggu (21/5/2017).
"Rezim Iran sebenarnya sudah sejak lama menjadi pemimpin terorisme berskala global. Yakni sejak revolusi (Ayatullah Ruhollah) Khomenini tahun 1979,” tudingnya.
Salman menepis tuduhan Arab Saudi sebagai pusat ajaran Wahabi yang dinilai sebagai akar terorisme dan penyimpangan doktrin Islam.
“Kami, Arab Saudi, tidak tahu menahu mengenai terorisme hingga ada revolusi Khomeini itu,” tukasnya.
Setelah Raja Salman, Trump yang juga berpidato turut menyerukan agar negara-negara Muslim menerapkan politik isolasi terhadap Iran.
"Mereka mempersenjatai teroris, milis, dari Lebanon, Irak, hingga Yaman. Semua negara harus bekerjasama bah membahu mengucilkan Iran,” tegasnya.
Trump berada di Saudi sebagai negara pertama dalam lawatan perdananya ke luar negeri sebagai presiden. Trump bertemu dengan puluhan pemimpin negara Muslim di Riyadh dalam konferensi tingkat tinggi khusus.
Dalam pertemuan itu juga, Trump dan Raja Salman bersepakat mengadakan perdagangan senjata senilai USD100 miliar.
Untuk diketahui, Arab Saudi kekinian masih terlibat perang agresi di wilayah berdaulat Yaman. Melaui pesawat-pesawat tempurnya, Saudi membombardir banyak kawasan dan membunuh ribuan warga Yaman.
Sementara AS, setidaknya sejak dua dekade terakhir, terlibat langsung maupun tak langsung dalam huru hara peperangan di Timur Tengah, mulai dari Irak hingga Suriah.
Sedangkan Revolusi Khomeini yang dimaksud Raja Salman adalah Revolusi Iran atau dikenal juga sebagai 'Revolusi Islam'.
Revolusi yang dipimpin Sayyid Ayatullah Ruhollah Khomeini itu mampu mengubah Iran dari sistem monarki di bawah Raja Shah Mohammad Reza Pahlavi yang dikenal tiran dan suka berfoya-foya, menjadi Republik Islam. Revolusi itu juga oleh para peneliti dinilai sebagai "revolusi besar ketiga dalam sejarah" setelah Revolusi Prancis dan Revolusi Bolshevik Rusia.