Suara.com - Amerika Serikat mendeportasi satu pria Indonesia bernama Arino Massie, yang merupakan pelarian dan mencari suaka pada era 1990-an. Massie minggat dari Indonesia ke negeri Paman Sam untuk menghindari kekerasan yang mengatasnamakan agama.
RAUT wajah Ang Li menampakkan kegelisahan sekaligus kekecewaan, Kamis (18/5/2017). "Hatiku hancur. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Bagaimana caranya aku memberitahukan kepada putranya," tuturnya.
Ang Li adalah teman Arino Massie di Kota Metuchen, New Jersey, AS. Pernyataan kekecewaan tersebut ia lontarkan kepada sejumlah jurnalis, sesaat setelah mendapat informasi Massie sudah dideportasi ke Indonesia.
Ia mengatakan, Massie ditangkap pihak Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) pekan lalu. Ia bersama tiga orang Indonesia lain yang juga mencari suaka, ditahan di Pusat Penahanan Imigran Elizabeth. Namun, Kamis (18/5), Massie sudah diterbangkan ke Jepang, untuk selanjutnya dibawa ke Indonesia.
Baca Juga: Tim Sinkronisasi Anies-Sandi Temui Bappeda DKI Jakarta
”Anak dan istrinya tidak berada di sini (New Jersey) mereka ada di Edison. Aku tak tahu bagaimana meberitahukan mereka perihal deportasi ini. Putranya juga tidak tahu bahwa sang ayah bukan warga AS dan diusir seperti ini,” tutur Ang Li.
Kisah pilu seorang pelarian tersebut berawal pada era 1990-an di Indonesia. Massie ketika itu memutuskan pergi tanpa pamit kepada pemerintah Indonesia, karena menjadi target kekerasan atas nama agama. Ia sukses keluar Nusantara dan memasuki wilayah AS.
Meski surat permohonan suakanya belum disahkan, ia selalu mendapat surat izin tinggal di AS. Terakhir, surat izin tinggal miliknya disahkan ketika AS masih dipimpin oleh Barack Obama.
Tapi, pada awal tahun 2017, ketika Presiden Donald Trump memerintah dan menerapkan kebijakan ketat terhadap imigran, ia dicokok ICE karena dianggap gagal dalam upaya mendapat suaka lebih dari dua dekade.
Jangan Deportasi Massie
Baca Juga: Terbakarnya KM Mutiara Sentosa I
Deportasi Massie sempat ditentang oleh komunitas tempat Massie beraktivitas dan berdomisili. Penentangan tersebut dipimpin oleh Pendeta Seth Kaper-Dale.
Sang pendeta yang sejak lama dikenal sebagai pembela imigran pencari suaka, memobilisasi massa untuk berdemonstrasi di depan Detensi Elizabeth untuk mencegah deportasi tersebut.
”Ketika kami berdemonstrasi, saya menerima pesan singkat dari Massie. Ia mengatakan, ’Pendeta, saya sudah berada di pesawat menuju Jepang. Terima kasih atas perjuangan kalian. Katakan kepada komunitas, aku selalu mencintai mereka’,” tutur Pendeta Seth membacakan pesan singkat Massie.
Selain itu, kata dia, Massie juga sempat memberikan satu pesan singkat lain sesaat sebelum pesawat yang membawanya ke Jepang lepas landasnya.
“Dia memintaku untuk memberitahukan putranya (Joel), bahwa ia akan selalu mengingat dan menciti Joel,” tuturnya.
Seth mengungkapkan, istri dan putra Massie tidak berada di Metuchen, melainkan di Edison. Sang istri tidak ikut serta berdemonstrasi.
Sementara Joel, putra Massie, tengah berada di sekolah dan tidak tahu menahu perihal pengusiran terhadap ayahnya.
Terancam di Indonesia
Fredrick Rattu, warga Philadelphia asal Indonesia yang datang ke AS sejak tahun 1994, mengakui khawatir terhadap keselamatan pria tersebut ketika sudah dipulangkan ke Indonesia.
Sebab, kata dia, Massie seringkali menuturkan dirinya bakal diperlakukan tidak baik seandainya dideportasi dan dikembalikan ke Indonesia.
“Anda bayangkan, seseorang yang lari dan berupaya mencari suaka lantas dikembalikan lagi ke negeri asalnya, Indonesia? Apa anda bisa bayangkan perlakuan apa yang bakal didapat Massie di negara itu,” tanya Rattu, yang sudah menjadi penduduk resmi AS sejak era Bill Clinton.
Untuk diketahui, selain Massie, terdapat tiga pria Indonesia lain yang ditahan dan terancam dideportasi. Ketiganya ialah Oldy Monolo, Rovani Wangko, dan Saul Timisela. Mereka belum dideportasi karena tidak memunyai paspor.