Namun, penggunakan diksi "gebuk" oleh Jokowi itu terlanjur mengusik ingatan banyak orang, terutama yang tumbuh besar dalam pergulatan era Orde Baru.
Masih pada bulan Mei tapi tahun yang berlainan yaitu 21 Mei 1998, Indonesia mulai memasuki tahap baru kehidupan politik yaitu turunnya Soeharto sebagai Presiden yang dahulu menggantikan Soekarno. Ia kemudian digantikan Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie yang baru beberapa bulan menjadi Wakil Presiden.
Kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998 itu praktis tidak diikuti demonstrasi besar-besaran sebagai eforia atas jatuhnya sang jenderal yang telah berkuasa selama sekitar 30 tahun.
Habibie tidak lama menjadi Presiden karena kemudian dia dijatuhkan dalam sidang MPR pada bulan Oktober tahun 1999.
Baca Juga: Tahun Ini Kementerian PUPR Targetkan KPR Subsidi Rp11,47 Triliun
Sejak itu muncul beberapa presiden secara berurutan yaitu Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudoyono dan kini Joko Widodo yang memiliki masa jabatan hingga Oktober tahun 2019.
Adakah kaitan antara situasi politik saat ini dengan era Soeharto? Jawabannya adalah Ada.
Jokowi yang biasanya terkesan bertutur lembut sekarang memakai istilah “gebuk”. Ucapan yang langsung mengingatkan pada Soeharto.
Dulu, Soeharto juga dikenal murah senyum, bahkan disematkan predikat “The Smiling General.” Tetapi, suatu ketika, ia menggunakan kata yang sama (gebuk), persisnya tanggal 13 September tahun 1989 yang juga dilontarkan kepada sejumlah wartawan di sela-sela lawatan ke beberapa negara.
Ketika itu, demonstrasi-demonstrasi berskala kecil dan sporadis berkembang di banyak daerah, bak cendawan di musim penghujan.
Baca Juga: Kementerian PUPR Kebut Venue Lapangan Sepak Bola ABC
Aksi massa itu secara langsung maupun tidak, menohok kekuasaan Soeharto. Karenanya, kata “gebuk” dipakai oleh Soeharto sebagai simbolisasi politik represinya terhadap pihak oposan.