Vedi Hadiz: Islam Radikal Bukan Pemenang Pilkada Jakarta

Reza Gunadha Suara.Com
Jum'at, 19 Mei 2017 | 13:41 WIB
Vedi Hadiz: Islam Radikal Bukan Pemenang Pilkada Jakarta
Jutaan umat muslim mengikuti melakukan zikir dan doa bersama di kawasan Monas, Jakarta, Jumat (2/12).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 telah selesai, tapi ”gema” dari perhelatan tersebut masih kental terasa hingga kekinian. Lantas, apa yang tersisa dari politik kontestasi tersebut?

Ahok—Basuki Tjahaja Purnama—calon gubernur petahana kalah. Ia lalu divonis bersalah dalam kasus penodaan agama, dan kekinian tengah mendekam di bilik tahanan Rutan Mako Brimob, Depok, Jawa Barat. Ketika masa kampanye, Ahok digempur oleh serial aksi yang mengatasnamakan Islam.

Sementara Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, sang penantang, secara mengejutkan menang. Kemenangan itu dinilai banyak pihak sebagai kemenangan kaum radikalis Muslim. Penilaian tersebut tak hanya diyakini oleh banyak orang di Indonesia, melainkan dalam pemberitaan media-media internasional.

Namun, Vedi R Hadiz—ilmuwan sosial Indonesia yang menjadi Professor of Asian Studies di Asia Institute, University of Melbourne, Australia—memunyai penilaian berbeda yang dijelaskannya dalam diskusi bertajuk “Identity Politics in Indonesian Electoral Democracy yang digelar di Melbourne University, Australia, Rabu (17/5/2017) malam.

Baca Juga: Sikap Internal PPP Soal Hak Angket KPK Belum Jelas

Menurutnya, Pilkada DKI yang dianggap sebagai miniatur pertarungan Pilpres 2019 bukanlah palagan yang dimenangkan oleh kaum radikalis Islam ataupun populisme Islam. Pemenang dalam politik kontestasi itu justru suatu klik oligarkis.

"Sebenarnya pihak pemenang dalam pilkada itu adalah sebuah faksi oligarki politik di Indonesia yang telah memobilisasi sentimen populisme Islam," ujar Profesor Vedi, seperti dilansir ABC Australia Plus.

Penulis buku Islamic Populism in Indonesia and the Middle East” (2016) ini mengatakan, identitas politik Islam yang secara tradisi selalu berada di tengah pentas politik Indonesia selalu terfragmentasi atau terbelah-belah.

Karenanya, tidak pernah ada satu organisasi politik yang tunggal sebagai representasi keinginan ”umat”. Kata ”umat” sendiri diartikan Vedi sebagai terminologi pengganti ”rakyat” (the people) dalam skema pemikiran populisme.

Ketika kekuatan Islam politik tersebut terserak, massa pendukungnya menjadi sasaran empuk bagi kelompok atau elite untuk dimobilisasi demi kepentingan mereka sendiri.

Baca Juga: Jika Laporan SP3, Antasari Diminta Demokrat Minta Maaf ke SBY

Vedi menuturkan, mobilisasi politik identitas Islam yang terfragmentasi tersebut, mensyaratkan adanya kontroversi yang konstan sehingga upaya itu efektif serta berhasil.

"Kontroversi konstan ini membuat kepentingan oligarki yang kental serta sentimen keterpinggiran umat Islam bisa saling mendukung. Justru hal itu yang dilakukan Ahok, yaitu menyediakan kontroversi tersebut," terangnya.

Atas dasar argumentasi itulah, Vedi menilai kaum radikalis Islam bukan pihak yang menjadi pemenang dalam pilkada di ibu kota tersebut, “lebih tepatnya, suatu bagian dari oligarki yang menang di Jakarta dengan menggunakan Islam,” imbuhnya.

Meski begitu, Vedi menegaskan penilaiannya itu tidak bisa diartikan situasi intoleransi yang berkembang di Jakarta maupun daerah lain di Indonesia merupakan fenomena wajar.

"Situasi seperti itu justru menunjukkan taktik tersebut (elite oligarkis memobilisasi sentimen Islam terpinggirkan) bisa berhasil dan mungkin akan kembali digunakan di masa depan,” tukasnya.

Vedi yang juga menulis buku “Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets” (2004) ini mengatakan, fenomena oligarkis memobilisasi sentimen Islam itu adalah dampak dari peningkatan “illiberalisme” demokrasi di Indonesia.

"Sebab, yang ada adalah sejenis demokrasi dan sejenis Islam yang kurang respek terhadap keberagaman sosial dan hak-hak minoritas," terangnya.

Konsep illiberalisme demokrasi sering pula disebut sebagai "demokrasi kosong", yakni sistem demokrasi yang meskipun melaksanakan pemilu, warga secara umum tidak mengetahui kegiatan para pemegang kekuasaan politik karena kurangnya kebebasan sipil.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI