Pilkada Jakarta Bikin Warga Terbelah, Bagaimana Menyudahinya?

Kamis, 18 Mei 2017 | 15:38 WIB
Pilkada Jakarta Bikin Warga Terbelah, Bagaimana Menyudahinya?
Pengamat politik dari Lingkar Madani Ray Rangkuti. [Suara.com/Ummi Hadyah Saleh]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Pengamat politik dari lembaga Lingkar Madani, Ray Rangkuti, setuju dengan ide rekonsiliasi usai pilkada Jakarta. Menurut Ray Rangkuti gagasan tersebut akan semakin berbobot jika diiringi dengan evaluasi penyebab terjadinya pengkotakan masyarakat, antara kubu Anies Baswedan dan kubu Basuki Tjahaja Purnama.

"Evaluasi ini penting agar kita menyadari apa kiranya yang mengakibatkan warga terpecah keras hanya karena misalnya urusan pilkada," kata Ray kepada Suara.com, Kamis (18/5/2017).

Berkaca pada pilkada yang dilaksanakan di berbagai daerah, kata Ray Rangkuti, pilkada effect sebenarnya bisa dipersingkat dan dilokalisir. Apalagi jika yang memicunya hanya perbedaan tentang bagaimana cara memajukan kota dan pengelolaan sebuah pemerintahan.

"Tapi di Jakarta, bukan hanya soal cara dan bagaimana kota dan pemerintahan dikelola. Jakarta dipecah juga oleh isu SARA yang begitu vulgar. Identitas seiman dan berbeda iman begitu gencar disuarakan. Rumah-rumah ibadah dipergunakan untuk mempertegas kita dengan mereka. Tak hanya agama, identitas suku juga membelahnya," tutur Ray.

Menurut catatan Ray pilkada Jakarta tahun ini tentang dengan isu SARA. Isu sensitif ini dipakai secara terbuka dan turut berpengaruh.

"Dikotomi kita dengan mereka seolah tak mampu lagi dijembatani oleh kita adalah Indonesia. Tentu saja, penggunaan SARA yang luas ini akan memantik keterlibatan emosional rakyat secara umumnya," ujar Ray.

"Pilkada DKI Jakarta bukan semata-mata soal bagaimana gagasan kita dan cara mengelola pemerintahan dan kota, tapi pilkada bahkan menjelma menjadi soal identitas kita dengan identitas mereka," Ray menambahkan.

Ray menambahkan visi, misi, dan gagasan memang diperbincangkan, khususnya di dalam forum-forum resmi, tetapi penonjolan identitas jauh lebih massif daripada perbincangan soal visi, misi.

"Apa artinya hal ini dan hubungannya dengan ajakan rekonsiliasi atau pendinginan suasana? Jelas ada. Ajakan itu benar tapi sekaligus menutup mata untuk menyelesaikan persoalan atau faktor utamanya," tutur Ray.

Tanpa upaya membenahi faktor utama, kata dia, imbauan itu hanya akan jadi rutinitas yang justru di saat yang sama membiarkan kuman penyakit membesar.

Itu sebabnya, ide rekonsiliasi sebaiknya diiringi dengan ajakan untuk berkomitmen bahwa isu SARA sama sekali tak dapat diperkenankan dalam hajatan politik.

"Defenisi tak seiman dan karena itu tak boleh dipilih, harus dinyatakan sesuatu yang tak patut diumbar demi keuntungan politik," ujar Ray.

Mengumbar identitas SARA, kata Ray, terbukti bukan saja menenggelamkan visi dan misi calon, tapi juga membuat masyarakat terpecah, bahkan setelah pilkada.

"Rekonsiliasi dan pendinginan suasana itu tentu baik. Tapi jauh lebih sempurna kalau kita meneguhkan komitmen untuk mencegah penggunaan SARA di dalam hajatan politik. Agar hal ini tak terulang lagi, khususnya dipelaksanaan pilkada serentak 2018 yang sudah di depan mata, dan pileg-pilpres 2019 berikutnya," kata Ray.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI