Suara.com - Anggota DPR Satya Widya Yudha menilai polusi udara di kota-kota besar negara Asia termasuk Indonesia sudah mencapai tingkat mencemaskan dan menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat.
"Harus ada langkah-langkah strategis mengantisipasi semakin meluasnya dampak polusi udara," kata Wakil Ketua Komisi VII DPR tersebut saat berbicara dalam Forum Air Quality Asia-World Bank High Level Strategy Session di United Nation Environment Programme (UNEP), New York, Selasa (16/5) seperti disampaikannya dalam rilis di Jakarta, Rabu.
Hadir pula dalam sesi tersebut antara lain Wakil Kepala Perwakilan Tetap Pemerintah Indonesia di PBB Ina Krisnamuthi, Deputi Direktur UNEP Jamil Achmad, President and Convenor Air Quality Asia Shazia Rafi, Perwakilan Inter Parliament Union (IPU), Chairman US-Indonesia Chamber of Commerce Wayne Forest serta perwakilan negara Asia antara lain Tiongkok, Korea, dan Pakistan.
"WHO menyebutkan polusi udara telah menjadi penyebab utama kematian yang dikarenakan penyakit kanker. Setidaknya tujuh juta kematian dini secara global akibat buruknya kualitas udara setiap tahunnya. Di Asia Tenggara, setiap hari ada kasus lebih dari 700 orang meninggal akibat polusi udara. Bahkan di India, angka tersebut lebih dari 3.000 orang per hari. Bayangkan itu terjadi setiap tahun, sangat tragis," kata Satya.
Oleh sebab itu, lanjutnya, harus ada upaya-upaya konkret yang dilakukan secara bersama-sama mencegah dampak pencemaran udara semakin meluas.
Peningkatan kualitas udara yang lebih bersih, menurut dia, harus menjadi kebijakan global, sehingga bisa menekan angka kematian akibat polusi.
Satya yang juga menjadi salah satu "board member" di Air Quality Asia (AQA) menggambarkan, kualitas udara negara-negara Asia mesti menjadi aspek penting di tengah pertumbuhan ekonominya yang cukup pesat.
Pada 2030, kawasan Asia diprediksi menjadi pusat pertumbuhan ekonomi global dengan lahirnya sejumlah negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi tinggi termasuk Indonesia.
India telah disebut-sebut akan menjadi "new Tiongkok" dengan pertumbuhan ekonomi tinggi.
"Di tengah laju pertumbuhan ekonomi kawasan Asia yang meningkat, maka aspek kualitas udara menjadi penting. Negara-negara kawasan tidak bisa mengabaikan begitu saja terhadap isu ini, karena ini bukan saja menjadi isu global, tetapi menunjukkan manajemen negara yang bersih dan berkualitas dalam pengelolaannya. Pencemaran udara sudah sangat mengkhawatirkan bagi masa depan negara-negara yang sedang tumbuh ekonominya," ungkap politisi Partai Golkar itu.
Satya mengatakan, harus ada langkah-langkah konkret mencegah dampak polusi semakian meluas.
Tiongkok, misalnya, telah menganggarkan dana pada 2012 untuk menangani polusi udara di sejumlah kota besarnya.
Begitupun India yang mulai membangun pembangkit surya berkapasitas 130 MW, sehingga harga pembangkit suryanya bisa lebih murah dibandingkan batubara.
"Khusus di Asia Selatan, ada potensi 2,5 triliun dolar AS untuk bisa dikembangkan di sektor transportasi dan properti berbasis energi bersih. Ini bisa menjadi contoh bagi negara-negara Asia lainnya, terutama Asia Tenggara," katanya.
Dalam konteks Indonesia, lanjut Satya, tren pencemaran udara berbeda dengan India dan Tiongkok yang lebih banyak dari polusi industri.
Sementara, di Indonesia, 90 persen polusi udara berasal dari gas buang transportasi darat.
"Pemerintah Indonesia harus mulai melakukan langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi dampak polusi udara," katanya.
Ia mencontohkan perlunya membangun pendeteksi baku mutu PM2.5 di 45 kota besar sesuai standar WHO.
Saat ini, baru Jakarta, Bandung dan Bogor yang menerapkan baku mutu PM2.5.
"Energi bersih sudah menjadi kebutuhan. Ke depan, Indonesia harus benar-benar terbebas dari penggunaan BBM berkadar emisi tinggi. Harus mulai diterapkan konversi dari BBM standar Euro 2 ke Euro 4 yang wajib bagi kendaraan bermotor di Indonesia. Selain itu, realisasi konversi BBM ke BBG juga harus diterapkan secara konsisten," ujar Satya. [Antara]
Baca Juga: Isu SARA 'Kencang', SBY Rilis Lagu 'Harmoni yang Indah'