“Keterangan yang didapatkan AJI, proses penerbitan visa jurnalis sangatlah berbelit dan cenderung lama. Dalam kasus dua jurnalis Swedia ini, misalnya, mereka diminta untuk mengungkapkan sumber, daftar orang yang akan diwawancarai, sampai memiliki ‘surat penerimaan’ dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT,” jelas Suwarjono.
Mekanisme ini, tambah Suwarjono, menjadi alat pemerintah membatasi jurnalis-jurnalis yang ingin melaporkan berita-berita dari Indonesia secara langsung. Parahnya, mekanisme “clearing house” ini tidak transparan karena memang tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
“Padahal, dengan membuka akses seluas-luasnya bagi jurnalis asing justru menguntungkan Indonesia. Jurnalis asing menjadi salah satu pintu masuk untuk mengabarkan berbagai hal positif di Indonesia. Bila ada hal-hal negatif yang ikut diberitakan, pemerintah punya kesempatan untuk menjelaskannya secara terbuka pula.” jelas Suwarjono.
Penutupan akses liputan, lanjut Suwarjono, justru merugikan pemerintah Indonesia. Karena media asing tidak mendapatkan sumber-sumber langsung, sesuai fakta lapangan, namun informasi dari pihak lain yang bisa jadi tidak akurat. “Internet membuat semua informasi terbuka, sangat aneh kalau masih ada pembatasan secara fisik. Media tetap akan mendapat sumber yang sama dari sumber lain,” kata dia.
Khusus untuk Papua, menurut Suwarjono, pengusiran enam jurnalis Jepang memperpanjang daftar kasus kekerasan pada jurnalis di Papua. Pada 1 Mei 2017 lalu, atau dua hari menjelang WPFD 2017, kekerasan dialami jurnalis di Papua. Yance Wenda, jurnalis Koran Jubi dan tabloidjubi.com dipukuli polisi hingga terluka, saat meliput penangkapan para aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Sebelumnya, pada 28 April lalu, tiga wartawan televisi dari Metro TV, Jaya TV, dan TVRI diintimidasi saat meliput sidang lanjutan pidana Pilkada Kabupaten Tolikara di Pengadilan Negeri (PN) Wamena pada 28 April 2017, oleh pengunjung sidang. Polisi yang mengetahui peristiwa itu tidak berupaya melindungi ketiga jurnalis.
Baca Juga: AJI Medan Kecam Polisi Tahan Mahasiswa Peserta Aksi Hardiknas
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura mencatat, sepanjang tahun 2015 hingga awal 2016, hanya ada 15 jurnalis asing yang diizinkan masuk ke Papua. Tabloidjubi.com menulis, jurnalis Radio New Zealand International, Johnny Blades mengaku membutuhkan waktu tiga bulan untuk mendapatkan visa masuk ke Papua. Meski memiliki visa peliputan, di Papua Blades ditolak oleh kepolisian dan TNI saat hendak mengkonfirmasi beberapa liputan yang didapatnya. Jurnalis Radio France, Marie Dumieres, juga dicari-cari polisi saat melakukan liputan di Papua. Maret tahun ini Franck Jean Pierre Escudie dan Basille Marie Longchamp, jurnalis dari The Explorers Network, dideportasi.
Berdasarkan data yang dihimpun AJI Indonesia, sepanjang Mei 2016 hingga April 2017 telah terjadi 72 kasus kekerasan yang dialami oleh para jurnalis yang menjalankan profesinya. Kasus kekerasan itu bahkan didominasi bentuk kekerasan fisik, yang mencapai 38 kasus. Pengusiran dan/atau pelarangan liputan juga masih marak, dengan temuan sebanyak 14 kasus.