Geger Penistaan Agama, dari Ki Pandji Kusmin hingga Ahok

Reza Gunadha Suara.Com
Minggu, 14 Mei 2017 | 07:15 WIB
Geger Penistaan Agama, dari Ki Pandji Kusmin hingga Ahok
Halaman muka Majalah Sastra (kiri) dan Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (kanan). [Majalah Sastra/Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) divonis dua tahun penjara karena dianggap bersalah dalam persidangan perkara penodaan agama, Selasa (9/5/2017). Namun, benar tidaknya penodaan agama itu terus menjadi polemik, seperti kasus-kasus terdahulu.

Lima abad silam, persisnya tahun 1633, Italia dan Eropa gempar. Kala itu, seseorang bernama Galileo Galilei dihadapkan ke pengadilan. Ia dicap sebagai penista agama dan dijebloskan ke penjara bawah tanah untuk seumur hidup. Galileo lantas mati sebagai pesakitan.

Galileo, dalam sejarah, tercatat sebagai orang yang kali pertama merasakan begitu tak mengenakkannya hidup dalam terungku, lantaran dinilai sebagai penista agama.

Namun, Galileo ternyata bukan orang terakhir yang harus mencecap kepedihan, dicemooh banyak orang, karena dianggap penoda agama. Kasus Galileo kembali terulang, setidaknya di Indonesia, ketika Ahok divonis bersalah dan mendapat hukuman dua tahun penjara karena dinilai menodai agama.

Baca Juga: Pesta Gol di Kandang Stoke, Arsenal Jaga Asa ke Eropa Musim Depan

Setelah dinyatakan bersalah, gelombang pasang aksi massa pro-Ahok justru semakin membesar. Simpati terhadap Gubernur nonaktif DKI Jakarta itu juga semakin membanjir, tak hanya dari warga ibu kota, tapi juga daerah lain dan bahkan internasional.

Situasi tersebut merupakan suatu ironi. Sebab, Selasa (9/5), majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara justru sudah memvonis Basuki Tjahaja Purnama—nama asli Ahok—terbukti menodai agama.

Dalam kasus Indonesia, Ahok sebenarnya bukan orang pertama yang dituduhkan menodai agama. Kasus Ahok juga bukan perkara pertama yang menuai pro maupun kontra mengenai penistaan agama.

Hikayat Ki Pandji Kusmin

Tahun 1968, dua tahun setelah tragedi G30S, Indonesia digemparkan oleh sebuah cerita pendek (cerpen) berjudul “Langit Kian Mendung” yang diterbikan dalam Majalah Sastra.

Baca Juga: Kebangkitan Nemanja Matic Kunci Sukses Chelsea Musim Ini

Cerpen tersebut berisi kritik sosial terhadap korupsi di Indonesia. Dalam narasinya, si pengarang menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai tokoh sentral.

Diceritakan, Muhammad SAW yang ditulis sebagai pensiunan nabi merasa bosan hidup di surga sehingga memutuskan menjenguk Bumi. Tapi, ia mendapati banyak perubahan yang tak pernah diperkirakan dirinya saat masih hidup.

Dalam narasi, penulis cerpen itu menceritakan banyak tokoh-tokoh profetik dalam nuansa profan yang kental. Alhasil, cerpen tersebut dianggap sebagai penghinaan terhadap agama.

Tapi, penulis cerpen tersebut tak diketahui. Sebab, si pengarang hanya mencantumkan nama pena, yakni “Ki Pandji Kusmin”.

Hans Bague (HB) Jassin, pemimpin redaksi Majalah Sastra lantas dihadapkan ke muka pengadilan. Oleh hakim, sang sastrawan besar Indonesia itu didesak untuk membuka jati diri Ki Pandji Kusmin yang membuat cerpen tersebut.

Namun, Jassin berkukuh memegang kode etik jurnalisme, sehingga tak mau memberitahukan siapa nama sebenarnya Ki Pandji Kusmin.

Karena tak mau menjadi kasus berkepanjangan yang bisa “merongrong” kekuasaan Orde Baru, majelis hakim memvonis HB Jassin satu tahun penjara dengan masa percobaan dua bulan.

Jassin menerima vonis tersebut, dan harus menanggung stigma banyak pihak sebagai orang yang ikut menistakan agama. Tapi, diam-diam, banyak kalangan yang menyimpan kegundahan dan ketidaksetujuan atas vonis hakim tersebut.

Hingga Jassin wafat tahun 2000 silam, ia tetap bungkam. Jati diri sebenarnya Ki Padji Kusmin tetap menjadi rahasia yang dibawa dirinya hingga liang lahat.

Survei Arswendo hingga Wahyu Lia Eden

Setelah kasus HB Jassin dan Ki Pandji Kusmin dianggap selesai oleh pemerintah dan terlupakan oleh masyarakat, awal dua dekade berikutnya Indonesia kembali digemparkan oleh kasus yang lagi-lagi secara subjektif dinilai sebagai penodaan agama.

Tahun 1990, Tabloid Monitor memublikasikan hasil survei yang sebenarnya hendak menunjukkan kritik terhadap penguasa Orba, Soeharto.

Tabloid tersebut, meminta pembaca setianya mengirimkan kartu pos berisi nama tokoh yang diidolakan melalui kartu pos yang ditujukan ke alamat redaksi. Para pembaca dibebaskan menuliskan siapa saja tokoh idolanya, bahkan nama pacarnya sendiri sekali pun.

Tak disangka-sangka, redaksi Monitor menerima lebih dari 33.000 kartu pos. Setelah diolah, redaksi lantas memuat hasil polling bertajuk “Kagum 5 Juta” di tabloid edisi 15 Oktober 1990.

Bagaimana hasil polling itu? Soeharto si penguasa berada di urutan pertama. Posisi kedua dan ketiga masing-masing diisi oleh BJ Habibie dan Soekarno. Iwan Fals, penyanyi kontroversial pada saat itu, berada di urutan keempat.

Uniknya, pada posisi 10, terdapat Arswendo Atmowiloto—penulis dan juga wartawan tabloid itu. Satu strip di bawahnya, tertera nama Nabi Muhammad SAW, pada urutan ke-11.

Sontak urutan polling tersebut dianggap melecehkan agama. Arswendo disebut tak pantas berada di atas Nabi Muhammad.

Arswendo lantas dihadapkan ke muka pengadilan. Mudah ditebak, ia divonis bersalah dan harus mendekam dalam penjara selama empat tahun enam bulan.

Selang empat tahun, tepatnya 1994, giliran Permadi yang kala itu masih menyandang status paranormal beken menjadi pesakitan kasus penodaan agama.

Permadi, yang pada era reformasi dikenal sebagai politikus, dianggap menghina agama ketika menjadi pembicara dalam diskusi di Universitas Gadjah Mada, 28 April 1994.

Dalam diskusi itu, Permadi mengkritik Soeharto dan rezim Orba sebagai pemerintahan kediktatoran.

Ketika memasuki sesi tanya-jawab, seorang mahasiswa—yang kekinian menyandang predikat pakar Hukum Tata Negara dan sering diundang sebagai narasumber di stasiun televisi—mengatakan hanya ada satu diktator di dunia ini, yakni seorang yang disucikan oleh suatu agama.

Membalas pernyataan mahasiswa itu, Permadi lantas idem, setuju bahwa nama orang suci yang disebut peserta tersebut adalah diktator yang baik.

Namun, rekaman tak lengkap diskusi itu, persisnya pada bagian Permadi menyebut nama orang suci itu sebagai diktator disebar ke khalayak. Kontan hal itu menimbulkan gejolak.

Lagi-lagi bisa ditebak, Permadi dihadapkan ke pengadilan dan dijatuhkan vonis 7 bulan penjara. Tapi, Permadi hanya dipenjara selama satu bulan, dan selanjutnya dibebaskan.

Pada tahun yang sama, seseorang bernama Didik Warsito juga menjadi terdakwa kasus serupa. Ia dianggap menodai perayaan Ekaristi di Maumere. Ia kemudian dihukum penjara 5 tahun.

Kisah kasus penodaan agama berlanjut pada tahun 2006. Ketika itu, Lia Aminuddin—ahli perangkai bunga kering—mengungkapkan pengalaman religiusnya ke hadapan publik.

Lia mengakui bertemu Bunda Maria dan mendapat wahyu ilahiah. Karena pengakuan yang bersifat individual dan transenden tersebut, Lia divonis bersalah dan dipenjara.

Menggugat Pasal Penodaan Agama

Banyaknya warga yang dianggap menodai agama justru mengindikasikan pasal-pasal yang berkenaan dengan perkara tersebut perlu dikaji ulang.

Hasil riset Setara Institute mengungkapkan terdapat 97 kasus penodaan agama dalam kurun waktu 1965-2017.

Uniknya, kasus tersebut semakin banyak diadukan ke pengadilan setelah era Orba dan Soeharto yang dikenal represif tumbang.

Ketika Soeharto berkuasa, hanya ada sembilan kasus penistaan agama. Sementara setelah era reformasi, terdapat 88 kasus.

Sebanyak 76 dari total 97 kasus penistaan agama diselesaikan melalui proses persidangan. Sementara 21 perkara sisanya diselesaikan di luar persidangan.

Lebih jauh, dari 97 kasus penodaan agama, 35 kasus di antaranya tidak melibatkan tekanan massa. Sedangkan 62 kasus lainnya terdapat keterlibatan tekanan massa.

Ditilik dari cacah agama, penodaan terhadap agama Islam tercatat 88 kasus. Sementara penodaan agama Kristen terdapat 4 kasus, Hindu 2 perkara, dan tiga perkara penistaan Katolik.

Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, menilai pasal-pasal penodaan agama kerapkali digunakan untuk kepentingan politik.

Setidaknya, hal itu tercermin dalam penjatuhan vonis terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Menurut dia, terdapat “perkawinan” yang tidak dikehendaki dalam kasus tersebut. Berbagai macam kepentingan berbaur dalam kasus penodaan agama oleh Ahok.

"Tetapi yang paling nampak adalah, kasus ini jelas digunakan sebagai alat penundukan dalam bentuk politisasi identitas Pak Basuki yang multiple identity," kata Ismail saat ditemui di Kantor Setara Institute, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (11/5/2017).

Identitas Ahok (sebagai kelompok minoritas), lanjut Ismail, dieksploitasi sedemikian rupa oleh orang-orang yang memiliki kepentingan politik. 

Ditambah lagi dengan kemunculan kasus yang hingga hari ini menjerat Ahok, yakni soal penodaan agama.

"Inilah yang dieksploitasi untuk menundukkan Pak Basuki, hingga akhirnya dia terus mengalami tekanan luar biasa. Ini bisa dilihat dampak elektoralnya, kan sudah terlihat hasilnya, Pak Basuki dikalahkan. Itu politisasi identitas jangka pendek dalam konteks pilkada," ujar Ismail.

Model politik identitas seperti ini, kata Ismail, akan terus berlangsung dalam kontestasi politik yang akan datang.  Sebab itu, Setara Institute mendorong agar penggunaan politik identitas dihentikan.

"Karena itu kami mendorong agar praktik politisasi identitas, karena ini adalah kejahatan demokrasi, harus disudahi. Berpolitiklah secara berkualitas dengan mengeksploitasi gagasan-gagasan kesejahteraan rakyat," kata Ismail.

Kembali ke Galileo. Sang filsuf alam, dihukum dan mati di penjara lantaran tak mau melepaskan argumentasinya bahwa Bumi dan planet-planet lainnya bergerak mengitari Matahari sebagai pusat tata surya. Keyakinannya tersebut, kala itu, bertentangan dengan otoritas keagamaan yang menyebut Bumi adalah pusat dari Tata Surya.

Namun, kekinian, argumentasi Galileo tersebut mendapat pembuktian yang membenarkan. Ia mejadi ilham bagi para penerus, termasuk si jenius Stephen Hawking.

Jauh sebelumnya, tatkala abad modern baru menyingsing, otoritas keagamaan yang menghukum Galilieo juga sudah mengutarakan permintaan maaf.  Karenanya, meski setiap perkara penodaan agama bisa dipastikan menjadi polemik berkepanjangan, tapi sejarah jua yang akhirnya membebaskan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI