Uniknya, kasus tersebut semakin banyak diadukan ke pengadilan setelah era Orba dan Soeharto yang dikenal represif tumbang.
Ketika Soeharto berkuasa, hanya ada sembilan kasus penistaan agama. Sementara setelah era reformasi, terdapat 88 kasus.
Sebanyak 76 dari total 97 kasus penistaan agama diselesaikan melalui proses persidangan. Sementara 21 perkara sisanya diselesaikan di luar persidangan.
Lebih jauh, dari 97 kasus penodaan agama, 35 kasus di antaranya tidak melibatkan tekanan massa. Sedangkan 62 kasus lainnya terdapat keterlibatan tekanan massa.
Baca Juga: Pesta Gol di Kandang Stoke, Arsenal Jaga Asa ke Eropa Musim Depan
Ditilik dari cacah agama, penodaan terhadap agama Islam tercatat 88 kasus. Sementara penodaan agama Kristen terdapat 4 kasus, Hindu 2 perkara, dan tiga perkara penistaan Katolik.
Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, menilai pasal-pasal penodaan agama kerapkali digunakan untuk kepentingan politik.
Setidaknya, hal itu tercermin dalam penjatuhan vonis terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Menurut dia, terdapat “perkawinan” yang tidak dikehendaki dalam kasus tersebut. Berbagai macam kepentingan berbaur dalam kasus penodaan agama oleh Ahok.
"Tetapi yang paling nampak adalah, kasus ini jelas digunakan sebagai alat penundukan dalam bentuk politisasi identitas Pak Basuki yang multiple identity," kata Ismail saat ditemui di Kantor Setara Institute, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (11/5/2017).
Baca Juga: Kebangkitan Nemanja Matic Kunci Sukses Chelsea Musim Ini
Identitas Ahok (sebagai kelompok minoritas), lanjut Ismail, dieksploitasi sedemikian rupa oleh orang-orang yang memiliki kepentingan politik.