Ketika memasuki sesi tanya-jawab, seorang mahasiswa—yang kekinian menyandang predikat pakar Hukum Tata Negara dan sering diundang sebagai narasumber di stasiun televisi—mengatakan hanya ada satu diktator di dunia ini, yakni seorang yang disucikan oleh suatu agama.
Membalas pernyataan mahasiswa itu, Permadi lantas idem, setuju bahwa nama orang suci yang disebut peserta tersebut adalah diktator yang baik.
Namun, rekaman tak lengkap diskusi itu, persisnya pada bagian Permadi menyebut nama orang suci itu sebagai diktator disebar ke khalayak. Kontan hal itu menimbulkan gejolak.
Lagi-lagi bisa ditebak, Permadi dihadapkan ke pengadilan dan dijatuhkan vonis 7 bulan penjara. Tapi, Permadi hanya dipenjara selama satu bulan, dan selanjutnya dibebaskan.
Baca Juga: Pesta Gol di Kandang Stoke, Arsenal Jaga Asa ke Eropa Musim Depan
Pada tahun yang sama, seseorang bernama Didik Warsito juga menjadi terdakwa kasus serupa. Ia dianggap menodai perayaan Ekaristi di Maumere. Ia kemudian dihukum penjara 5 tahun.
Kisah kasus penodaan agama berlanjut pada tahun 2006. Ketika itu, Lia Aminuddin—ahli perangkai bunga kering—mengungkapkan pengalaman religiusnya ke hadapan publik.
Lia mengakui bertemu Bunda Maria dan mendapat wahyu ilahiah. Karena pengakuan yang bersifat individual dan transenden tersebut, Lia divonis bersalah dan dipenjara.
Menggugat Pasal Penodaan Agama
Banyaknya warga yang dianggap menodai agama justru mengindikasikan pasal-pasal yang berkenaan dengan perkara tersebut perlu dikaji ulang.
Baca Juga: Kebangkitan Nemanja Matic Kunci Sukses Chelsea Musim Ini
Hasil riset Setara Institute mengungkapkan terdapat 97 kasus penodaan agama dalam kurun waktu 1965-2017.