Diceritakan, Muhammad SAW yang ditulis sebagai “pensiunan nabi“ merasa bosan hidup di surga sehingga memutuskan menjenguk Bumi. Tapi, ia mendapati banyak perubahan yang tak pernah diperkirakan dirinya saat masih hidup.
Dalam narasi, penulis cerpen itu menceritakan banyak tokoh-tokoh profetik dalam nuansa profan yang kental. Alhasil, cerpen tersebut dianggap sebagai penghinaan terhadap agama.
Tapi, penulis cerpen tersebut tak diketahui. Sebab, si pengarang hanya mencantumkan nama pena, yakni “Ki Pandji Kusmin”.
Hans Bague (HB) Jassin, pemimpin redaksi Majalah Sastra lantas dihadapkan ke muka pengadilan. Oleh hakim, sang sastrawan besar Indonesia itu didesak untuk membuka jati diri Ki Pandji Kusmin yang membuat cerpen tersebut.
Baca Juga: Pesta Gol di Kandang Stoke, Arsenal Jaga Asa ke Eropa Musim Depan
Namun, Jassin berkukuh memegang kode etik jurnalisme, sehingga tak mau memberitahukan siapa nama sebenarnya Ki Pandji Kusmin.
Karena tak mau menjadi kasus berkepanjangan yang bisa “merongrong” kekuasaan Orde Baru, majelis hakim memvonis HB Jassin satu tahun penjara dengan masa percobaan dua bulan.
Jassin menerima vonis tersebut, dan harus menanggung stigma banyak pihak sebagai orang yang ikut menistakan agama. Tapi, diam-diam, banyak kalangan yang menyimpan kegundahan dan ketidaksetujuan atas vonis hakim tersebut.
Hingga Jassin wafat tahun 2000 silam, ia tetap bungkam. Jati diri sebenarnya Ki Padji Kusmin tetap menjadi rahasia yang dibawa dirinya hingga liang lahat.
Survei Arswendo hingga Wahyu Lia Eden
Baca Juga: Kebangkitan Nemanja Matic Kunci Sukses Chelsea Musim Ini
Setelah kasus HB Jassin dan Ki Pandji Kusmin dianggap selesai oleh pemerintah dan terlupakan oleh masyarakat, awal dua dekade berikutnya Indonesia kembali digemparkan oleh kasus yang lagi-lagi secara subjektif dinilai sebagai penodaan agama.