Suara.com - Ketua DPP Partai Gerindra Sodik Mudjahid curiga ada sebuah rencana besar yang disisipkan dalam perkara hukum Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Indikatornya, setelah Ahok divonis bersalah dan dihukum dua tahun penjara atas kasus penistaan agama, ada upaya untuk membuat kasus itu menjadi isu inernasional.
"Jadi saya khawatir ini merupakan bagian dari setting besar untuk memecahbelah mengacaubalaukan keadaan di NKRI," kata Sodik kepada Suara.com, Jumat (12/5/2017).
Tapi, menurut Sodik, pemerintah tidak perlu terganggu dengan upaya menginternasionalisasi kasus Ahok. Sodik menilai proses hukum terhadap Ahok sudah sesuai dengan prosedur.
Dia juga menekankan Indonesia memiliki kedaulatan hukum.
Baca Juga: 3 Hakim yang Vonis Ahok Naik Jabatan, 2 Hakim Kenapa Tak Naik?
"Kan kita sepakat, urusan dalam negeri diselesaikan dengan dalam negeri. Dan kita harap marilah urusan di dalam diselesaikan tanpa harus melibatkan orang luar," kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR ini.
Sodik juga menegaskan sikapnya terhadap undang-undang tentang penodaan agama dicabut.
"Dan jika undang-undang itu dicabut, maka kebayang akan semakin leluasa orang melakukan penistaan-penistaan. Di luar negeri saja, di negara yang sekuler itu masih ada undang-undang tersebut, bahkan dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen," kata Sodik.
Sodik menekankan bahwa Indonesia merupakan negara yang menganut Pancasila.
"Nah kita negara Pancasila, yang mengakui keberadaan agama akan sangat aneh jika kita tidak melindungi agama-agama dari penistaan," kata dia.
Baca Juga: Sambutan Presiden Jokowi Buat Presiden Jeria di Istana Merdeka
Sebelumnya, Ketua Komisi I DPR dari Fraksi PKS Abdul Kharis Almasyhari juga meminta semua pihak, terutama mereka yang berupaya menginternasionalisasi masalah hukum yang sudah ditetapkan Pengadilan Negeri Jakarta Utara kepada Ahok untuk berpikir ulang serta menjunjung tinggi proses hukum.
"Indonesia memiliki kedaulatan hukum dan bersifat independen sehingga keputusannya tidak bisa di intervensi. Kalau memang ada keberatan atau ketidakpuasan atas sebuah keputusan, maka dibuka ruang dan mekanisme untuk menempuh jalur hukum berikutnya. Dan itu diatur di dalam undang-undang," kata Abdul Kharis.
Legislator asal Solo menambahkan hakim telah memutuskan berdasarkan asas praduga tak bersalah dan pertimbangan yang memperhatikan semua pihak. Persidangan yang dilakukan secara marathon sebanyak 21 kali dengan menghadirkan puluhan saksi dan saksi ahli, baik dari pihak jaksa maupun terdakwa, kata dia, membuktikan profesionalisme dan kesungguhan penegakan hukum yang berkeadilan dan imparsial.
"Sudah sepantasnya lembaga internasional maupun pemerintah dan parlemen negara lain menghormati keputusan hakim yang Ada di Indonesia. Proses Hukum sudah berjalan dengan semestinya dan mekanisme persidangan dilakukan secara transparan dan berasaskan Keadilan," kata Abdul Kharis sebelum berangkat ke Suriname dalam rangka kunjungan kerja Komisi 1 DPR.
Kasus Ahok memang banyak mendapatkan sorotan internasional karena dalam perjalanannya terjadi beragam peristiwa yang melatarbelakangi. Namun, kata dia, perlu dicatat bahwa keputusan telah dibuat. Itu sebabnya, semua harus menghormati karena proses keputusannya telah menempuh jalur hukum yang tersedia.
"Asing jangan merusak tatanan hukum Indonesia, hormatilah, hargailah kami sebagai negara sahabat, lembaga internasional seperti Kantor Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Asia Tenggara PBB (OHCHR), Amnesti Internasional, Uni Europa, parlemen Belanda dan lainnya sudah sepantasnya menghargai keputusan hakim terkait penistaan agama. Karena itu bagian dari undang-undang yang berlaku di Indonesia," katanya.
"Itu harus dihormati, jangan kemudian mendesak penghapusan pasal itu. Itu namanya campur tangan merusak tatanan hukum sebuah negara yang tidak boleh dilakukan," Abdul Kharis menambahkan.
Sebagaimana diberitakan media-media internasional, organisasi internasional seperti Dewan HAM PBB untuk kawasan Asia serta Amnesty International, menyampaikan pandangan atas vonis dua tahun penjara terhadap Ahok yang diputuskan Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Selasa (9/5/2017).