Suara.com - Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), organisasi massa petani berskala nasional, membantah tudingan berupaya memprovokasi dan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bantahan tersebut merupakan respons terhadap pernyataan Pemkab Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, yang menilai aktivitas AGRA di Desa Punan, merupakan bentuk provokasi dan berbahaya bagi NKRI. Pernyataan pemkab itu disiarkan sejumlah media massa lokal.
"Tudingan itu sama sekali tidak benar dan sangat berbahaya. Tuduhan tersebut menyakiti perasaan kaum tani dan suku bangsa minoritas di Kapuas Hulu dan anggota AGRA di seluruh daerah. Terlebih, tuduhan ini adalah kali kedua dilontarkan pemkab," tutur Ketua Umum AGRA, Rahmat, di Jakarta, Rabu (10/5/2017).
Baca Juga: Djarot Serahkan Nasib Proyek Reklamasi ke Anies-Sandi
Rahmat bukan tanpa alasan kuat menilai pernyataan pemkab itu sebagai fitnah. Ia menjelaskan, AGRA sejak kali pertama dibentuk berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Setiap kegiatan AGRA, kata dia, juga didasarkan pada hukum nasional maupun internasional, termasuk cabang AGRA di Kalimantan Barat.
"Fitnah itu muncul setelah AGRA bersama masyarakat hukum adat Punan Hovongan di Kapuas Hulu memperjuangkan pengakuan dan perlindungan negara bagi eksistensi adat serta tanah ulayat mereka yang dirampas," ungkap Rahmat.
Rahmat menuturkan, Suku Dayak Punan Hovongan sejak sebelum Indonesia merdeka sudah menempati desa mereka yang masuk tanah ulayat.
Namun, ketika pemerintah menetapkan wilayah Taman Nasional Betung Krihun (TNBK), kawasan adat suku itu ikut diklaim. Alhasil, setiap aktivitas bertahan hidup suku bangsa minoritas di tanah nenek moyangnya sendiri dianggap ilegal.
Baca Juga: Polisi Beberkan Modus Kasus Sebar SARA Ki Gendeng Pamungkas
“Balai TNBK tahun 2011 bahkan melakukan pembakaran pondok, ladang, menyita alat-alat produksi, dan mengkriminalisasi anggota adat Hovongan,” terangnya.
Karenanya, terus Rahmat, AGRA mengadvokasi suku Hovongan untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan negara.
Sementara ini, AGRA bersama Suku Punan Hovongan sudah memberikan dokumen yang menyatakan adanya hak dan tanah ulayat kepada pemkab maupun Pemprov Kalbar.
“Dengan demikian, jelas AGRA beridri dan bekerja berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku di NKRI,” tegasnya lagi.
Apalagi, kata dia, empat tuntutan AGRA dan Suku Hovongan juga berada dalam koridor hukum Indonesia.
Keempat tuntutan itu antar lain ialah, mencabut penetapan TNBK yang telah merampas tanah ulayat masyarakat hukum adat Suku Punan Hovongan.
Kedua, memberikan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat Suku Punan Hovongan. Ketiga, menghentikan pemberitaan tuduhan dan fitnah yang dilakukan oleh pemkab Kapuas Hulu kepada AGRA.
Keempat, menuntut kepada pemerintah untuk menjamin kebebasan berorganisasi kepada seluruh rakyat.