Suara.com - Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Eva Kusuma Sundari mengakui sedih sekaligus kecewa lantaran Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) divonis dua tahun penjara dan diperintahkan ditahan.
Eva menilai, vonis tersebut bukan didasarkan atas asas kebenaran dan keadilan, melainkan majelis hakim mendapat tekanan massa anti-Ahok dalam menyelesaikan kasus penodaan agama.
“Melalui vonis itu menunjukkan hakim memunyai tekanan dari massa, sehingga memberikan hukuman di luar tuntutan jaksa penuntut umum. Jelas, vonis ini tidak mengekspresikan keadilan tapi kebencian, spiritnya sama,” tutur Eva melalui pesan singkat kepada Suara.com, Rabu (10/5/2017) pagi.
Baca Juga: Aksi Simpatik untuk Ahok, Haru Djarot dan Warga di Balai Kota
Ia mengatakan, pihak penuntut sebenarnya gagal membuktikan tuduhan terhadap Ahok dalam pengadilan. Namun, hakim menggunakan wewenangnya yang didasarkan pada saksi yang memberatkan Ahok.
Karenanya, Eva menuding vonis majelis hakim tersebut justru membawa kemunduran dalam demokratisasi di Indonesia.
Pasalnya, kata anggota Komisi XI DPR itu, keadilan yang seharusnya menjadi dasar vonis pengadilan dikorbankan lantaran pasal penodaan agama yang kerap mengorbankan kelompok minoritas karena didesak golongan mayoritas.
"Tentu akan menjadi preseden bagi demokratisasi Indonesia, yang seharusnya hukum tak mengenal perbedaan agama atau dikotomi mayoritas versus minoritas. Ini juga membuktikan hukum juga dipakai untuk kontestasi politik,” tandasnya.
Untuk diketahui, Majelis Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang diketuai Dwiarso Budi Santiarto memvonis Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan hukuman penjara dua tahun dalam persidangan, Selasa (9/5/2017). Hakim juga memerintahkan agar Ahok ditahan.
Baca Juga: Ahok Dipenjara, Luna Maya: Gila Sih, Gue Marah
"Menjatuhkan pidana dengan pidana penjara dua tahun," kata Dwiarso di ruang sidang Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan.