AJI: Pembubaran Organisasi Tak Sejalan Dengan Prinsip Demokrasi

Adhitya Himawan Suara.Com
Rabu, 10 Mei 2017 | 03:00 WIB
AJI: Pembubaran Organisasi Tak Sejalan Dengan Prinsip Demokrasi
Rapat akbar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Sabtu (30/5). [suara.com/Oke Atmaja]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mempertanyakan pernyataan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto yang mengatakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berbeda dengan Front Pembela Islam (FPI), dengan alasan HTI menyatakan menolak NKRI dan Pancasila, serta ingin membangun khilafah

Pernyataan Setyo muncul dalam salah satu berita media online https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170508172546-20-213232/polri-hti-dan-fpi-berbeda/. Dengan alasan itu pula, Setyo Wasisto menyatakan Polri hanya mengusulkan HTI kepada pemerintah untuk dibubarkan.

"AJI Indonesia menilai pernyataan Setyo Wasisto menunjukkan cara berfikir yang parsial dan abai terhadap prinsip serta kaidah pembatasan kebebasan berekspresi," kata Ketua Umum AJI Indonesia Suwarjono di Jakarta, Selasa (9/5/2017).

Baca Juga: BIN Dukung Rencana Pemerintah Bubarkan HTI

AJI mengecam Pemerintah yang terus menerus mengabaikan ketentuan Pasal 20 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Konvenan Sipol).UU tersebut telah menegaskan setiap bentuk propaganda perang, tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum.

Selain itu, AJI Indonesia mempertanyakan komitmen pemerintah untuk menegakkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 (UU No 40/2008) tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis sebagai pelaksanaan dari perintah Konvenan Sipol, termasuk dalam wacana pembubaran HTI. "Alih-alih menjalankan mekanisme hukum sebagaimana diatur UU No 40/2008, Pemerintah justru memilih menjalankan mekanisme hukum untuk membatasi hak berekspresi dan menyampaikan gagasan," ujar Suwarjono.

Senada dengan itu, Sekjen AJI Indonesia Arfi Bambani Amri mengatakan Pemerintah bukan hanya menjalankan praktik diskriminasi terhadap warga negara, namun juga “diskriminasi” karena memilih-milih aturan hukum apa yang ditegakkan, dan aturan hukum apa yang dilumpuhkan. Praktik itu menjadi semakin nyata dalam kasus pameran lukisan "Aku Masih Utuh dan kata-kata belum binasa, Tribute to #WijiThukul" oleh seniman Andreas Iswinarto di Pusham Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, pada Senin (8/5/2017).

Polri sebagai aparat penegak hukum tidak melindungi hak asasi Andreas Iswinarto untuk berekspresi secara damai, dan tidak mengambil langkah hukum apapun terhadap sekelompok orang beratribut organisasi kemasyarakatan Pemuda Pancasila. Kasus pembubaran pameran lukisan itu mengingatkan kita bahwa Polri selalu abai dan membiarkan berbagai organisasi kemasyarakatan merampas hak warga negara lain yang berekspresi dengan cara-cara damai.

"Menyikapi langkah pemerintah ini, AJI menyatakan sikap bahwa membubarkan organisasi, termasuk seperti HTI, adalah pelanggaran terhadap hak menyatakan pendapat dan berserikat yang itu dilindungi Konstitusi. Pasal 28 E UUD 1945 ayat (3) tegas menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Perlindungan terhadap pelaksanaan hak ini juga diatur lebih detail dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Konvenan Sipol)," jelas Arfi.

Baca Juga: Kecewa, HTI Mengira Ahok Akan Dipenjara 5 Tahun

AJI menegaskan bahwa pembubaran sebuah organisasi adalah tindakan yang tidak sejalan dengan prinsip negara demokrasi. Membiarkan pemerintah melakukan tindakan seperti itu sama dengan memberi cek kosong yang itu bisa dipakai secara sewenang-wenang di kemudian hari dengan alasan yang bisa dicari-cari. Pemerintah harus melakukan cara lain untuk menangkal bahaya yang ditimbulkan oleh sebuah organisasi sebelum memilih cara drastis dan keras seperti pembubaran. "Artinya, pembubaran ormas harus benar-benar merupakan opsi terakhir dan harus sesuai undang-undang," jelas Arfi.

Ketentuan soal organisasi kemasyarakatan diatur dalam Undang Undang No 17 tahun 2013. Regulasi ini memuat larangan bagi sebuah organisasi, antara lain: menyebarkan permusuhan bersifat SARA; melakukan kegiatan separatis; mengumpulkan dana untuk parpol; dan menyebarkan faham yang bertentangan dengan Pancasila. Pemerintah harus bisa membuktikan bahwa tindakan HTI terbukti melanggar undang-undang tersebut. Kalau pun memang ada pelanggaran, pemerintah harus mengikuti prosedurnya, yaitu terlebih dulu memberi peringatan. Jika peringatan sampai tiga kali diacuhkan, pemerintah terlebih dulu harus menghentikan bantuan dana dan melarang sementara kegiatannya selama enam bulan.

"Jika larangan ini diabaikan, barulah pemerintah bisa membawanya ke pengadilan," tutup Arfi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI