Suara.com - Petitih “di balik pria yang sukses, terdapat sosok perempuan yang berperan di baliknya” tampak menemukan pembenarannya dalam kisah Presiden terpilih Prancis Emmanuel Macron.
Sang istri, Brigitte Trogneux, disebut-sebut sebagai sosok sentral dalam kiprah Macron di pentas politik Prancis.
Bahkan, dalam pertarungan di ajang pemilihan presiden, Brigitte juga berperan sebagai lawan sebanding calon yang diusung Front National yang juga seorang perempuan, Marine Le Pen.
Baca Juga: HTI: Kami Legal, Tak Pernah Langgar Hukum
“Brigitte tampak selalu hadir dalam setiap agenda Emmanuel. Brigitte adalah wanita yang terlibat dalam kehidupan suaminya, begitu juga dalam politik,” kata Alexis Kohler, kepala staf Macron saat menjabat sebagai Menteri Ekonomi Presiden Francois Hollande, Selasa (2/5/2017) pekan lalu.
Peran Brigitte juga diakui oleh sang suami. Ketika memprediksi bakal memenangkan pertarungan pilpres, Macron menegaskan itu adalah kemenangan dirinya dan sang istri.
“Kalau saya terpilih, oh, maaf, maksud saya ketika ‘kami’ terpilih, Brigitte akan berada di pemerintahan dengan tempat dan perannya sendiri,” kata Macron, 8 Maret 2017.
Brigitte selama ini bukanlah siapa-siapa dalam percaturan politik Prancis. Ia mulai menjadi sorotan dan buah bibir saat sang suami—yang dianggap sebagai ‘penggembira’ dalam pilpres—justru mampu melaju ke putaran kedua menghadapi Le Pen.
Sejak Macron meraih suara terbanyak pada putaran pertama pilpres, 23 April lalu, media massa baru menyadari ketangguhan si mantan bankir dan lantas membuka semua tabir kehidupannya yang relatif tak diketahui publik. Salah satunya adalah, kisah cintanya dengan Brigitte yang ternyata mantan gurunya semasa sekolah.
Baca Juga: Wiranto Dapat Kiriman Karangan Bunga Dukung Bubarkan HTI
Ikon Kesetiaan
Rakyat Prancis kekinian tak lagi mau terjebak dalam dikotomi haluan politik, “kiri” atau “kanan” seperti yang menjadi pemahaman umum politik di negeri tersebut.
Pasalnya, politikus dari kalangan kiri yang diharapkan pro-rakyat pun tak mampu menyajikan perubahan mendasar. Mereka lebih mementingkan sosok yang setia, sehingga tak mungkin mengkhianati kepercayaan rakyat.
Dua presiden Prancis dalam satu dekade terakhir memang bukan sosok yang bisa dianggap ideal dalam kesetiaan.
Bekas presiden Nicolas Sarkozy, kepincut super model Carla Bruni. Bahkan, Sarkozy berani menceraikan sang istri, Cécilia Attias, saat masih menjabat sebagai presiden, demi menikahi Bruni.
Sarkozy lengseng, dan penggantinya dari Partai Sosialis, Francois Hollande, diyakini mampu bersetia. Tapi apa lacur, tahun 2012, terkuak skandal asmara terlarang dengan aktris Julie Gayet. Ia juga menceraikan kekasihnya yang berprofesi sebagai jurnalis, Valerie Trierweiler.
Sejak skandal perselingkuhan itu muncul ke publik, simpati dan dukungan warga terhadap Hollande terus merosot. Ia dianggap pria yang tak bisa bersetia terhadap sang istri, apalagi terhadap rakyatnya.
Dalam situasi seperti itulah, Macron—yang sebenarnya “otak” kebijakan neoliberal Hollande—mendapat simpati publik. Apa pasal? Tak lain dan tak bukan karena kisah cinta dan kesetiaannya terhadap brigitte.
Brigitte berusia lebih tua 24 tahun dari Macron. Brigitte kekinian berusia 64 tahun. Sementara Macron baru berusia 39 tahun.
Keduanya kali pertama berkenalan saat macron masih berusia 15 tahun dan berstatus pelajar. Sementara Brigitte adalah gurunya ketika itu.
Menurut pengakuan Macron, ia jatuh cinta terhadap Brigitte saat pandangan pertama.
Brigitte adalah perempuan dari keluarga borjuis Trogneux, yang secara tradisi dikenal sebagai pemilik pabrik coklat di Amiens, Prancis Utara.
Kala itu, Brigitte adalah guru bahasa Latin di sekolah Macron. Selain itu, ia juga pengajar drama. Nah, melalui kelas drama itulah, Macron jatuh hati kepada Brigitte yang saat itu adalah istri pria bernama Andre Louis Auziere dan sudah dikaruniakan tiga orang anak.
Anak sulung Brigitte dua tahun lebih tua dari Macron. Sedangkan putri keduanya, Laurence, sebaya dan pernah sekelas dengan Macron.
Karenanya, ayah dan ibu Macron sempat mencurigai putranya mencintai putri Brigitte, yakni Laurence. Tapi, keduanya benar-benar terkejut saat Macron mengakui dirinya jatuh cinta kepada Brigitte.
Tapi, cinta memang buta, ia tak juga melihat batasan-batasan umur, begitulah pikir Macron ketika itu.
“Dia pernah bersumpah menikahiku saat dia sudah berusia 17 tahun. Aku menanggapinya biasa, aku pikir mungkin itu gejolak hasrat mudanya. Karena orangtuanya mengetahui hal itu, Macron dipindahkan ke Paris,” tutur Brigitte.
Tapi, perlakuan orangtuanya tak membuat Macron putus asa. Di Paris, ia tetap memantau wanita pujaannya itu. Pucuk di cinta, Brigitte dan suaminya bercerai tahun 2007.
Tak mau melepaskan kesempatan emas, Macron yang sebenarnya bisa mendapatkan wanita lebih muda di Paris, kembali datang ke Armens dan meminta Brigitte mau menikah dengannya.
Tersentuh oleh ketulusan Macron, Brigitte lantas mengiyakan ajakan menikah. Keduanya menikah tahun 2007, tatkala Macron berusia 30 tahun dan Brigitte menginjak umur 55 tahun.
Keduanya tak memunyai anak. Macron hanya memunyai tiga anak tiri yang satu di antaranya sudah lebih tua daripadanya.
“Tidak memunyai anak bukanlah perkara ketidakadilan bagi saya,” tukas Macron.
Prancis, sejak paruh terakhir abad ke-20, dikenal sebagai negeri “posmodern”, yakni hendak melepaskan ikatan-ikatan kebudayaan modernitas yang dianggap obsolet. Salah satunya adalah persoalan kebebasan dalam hidup, sehingga konsep-konsep kesetiaan, pernikahan, atau moralis lainnya selalu dicurigai sebagai penghambat. Namun, kisah cinta Macron dan Brigitte tampak ingin menunjukkan hal sebaliknya.