Suara.com - Sekretaris Jenderal Partai Islam Damai Aman (Idaman) Ramdansyah menilai, mekanisme persentase ambang batas suara partai politik untuk mengusung calon presiden dan calon wakil presiden (presidential threshold), tidak sesuai hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebab, putusan MK mengamanatkan pemilihan umum (pemilu) untuk calon legislatif maupun capres dilakukan serentak tahun 2019.
"Sejumlah partai yang mengusulkan mekanisitu bisa dibilang partai yang belum move on dari Pemilu 2014. Pemilu 2019 memakai mekanisme baru, dilakukan serentak,” tutur Ramdansyah, dalam diskusi ‘Membatasi Ambang Presidensial’ di Gado-Gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (6/5/2017).
Baca Juga: Hak Angket KPK Lolos, DPR Dikhawatirkan Semakin Semaunya
Ramdansyah mengatakan, penerapan ambang batas pencalonan presiden hanya akan menjegal partai-partai baru untuk bisa mengusung capres.
Padahal, kata dia, pemerintah sudah mengusulkan partai-partai bisa bisa ikut mengusung capres dan cawapres asal mau berkoalisi dengan partai-partai lama.
Dalam diskusi yang sama, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menilai, mekanisme seperti itu justru merupakan penyimpangan dari sistem presidensial.
“Berapa pun persentase ambang batas parlemen yang ditentukan, baik 20 persen dari total kursi di DPR, 25 persen suara nasional, atau 0 persen, merupakan anomali yang menyimpang dari sistem presidensial. Sebab, pencalonan presiden tidak bisa didikte atas hasil pemilu legislatif,” tutur Haris.
Baca Juga: Simak 5 Fakta Menarik Ini Sebelum Arsenal Hadapi MU