Suara.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, hak angket yang diajukan DPR untuk menelisik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) “salah alamat”. Sebab, KPK bukan lembaga pemerintahan eksekutif berdasarkan teori trias politica atau pembagian kekuasaan.
"Apakah KPK itu bagian dari eksekutif? KPK itu bukan bagian dari eksekutif. Penegak hukum di bawah pemerintah itu polisi dan jaksa, KPK bukan. Ini sudah salah alamat. Dia berada dalam kuasi yudisial," kata pegiat ICW Donal Fariz di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (6/5/2017).
Karenanya, kalau hak angket itu diteruskan, maka DPR nantinya bisa kembali melakukan aktivitas yang berada di luar kekuasaannya.
Misalnya, kata dia, bisa jadi DPR nantinya mengajukan hak angket untuk memeriksa Mahkamah Agung (MA) atau Mahkamah Konstitusi (MK), yang merupakan dua lembaga yudikatif.
Baca Juga: Mobilnya Terbalik, Sheila Marcia dan Melodya Diduga Mengantuk
"Jangan-jangan, nanti, kalau ada putusan MK yang tidak sesuai dengan selera DPR, mereka akan memakai hak angket juga,” tegasnya.
Ia mengatakan, hak angket sebenarnya bisa dipakai oleh legislator kalau mencurigai suatu lembaga eksekutif melanggar ketentuan perundang-undangan sehingga merusak kepentingan strategis negara dan merugikan masyarakat.
"Tapi, hak angket KPK ini didasari persoalan kecermatan KPK dalam anggaran, tata kelola, dan diduga ada konflik internal. Pertanyaannya, mana yang melanggar undang-undang? Seharusnya DPR menunjukkan KPK melanggar aturan apa,” tantangnya.
Donal juga mengakui heran terhadap sikap anggota DPR yang getol mengajukan hak angket kepada KPK, sementara hal yang sama terhadap institusi lain tidak dilakukan.
"Kalau mau dibandingkan dengan penegak hukum lain, di kepolisian itu ada gesekan di internal, ada anggota tembak komandan, seharusnya diangketkan juga itu. Ternyata tidak kan," tandasnya.
Baca Juga: Peneliti LIPI: Pilpres Tak Boleh Didikte Hasil Pemilu Legislatif