Peneliti LIPI: Pilpres Tak Boleh Didikte Hasil Pemilu Legislatif

Sabtu, 06 Mei 2017 | 14:47 WIB
Peneliti LIPI: Pilpres Tak Boleh Didikte Hasil Pemilu Legislatif
Diskusi ‘Membatasi Ambang Presidensial’ di Gado-Gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (6/5/2017). [Suara.com/Welly Hidayat]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Mekanisme persentase ambang batas parlemen (parlementary threshold) hasil pemilihan umum (pemilu) legislatif bagi partai politik untuk mengusung kandidat calon presiden dan calon wakil presiden, terus menuai kritik.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menilai, mekanisme seperti itu justru merupakan penyimpangan dari sistem presidensial.

Parlementary threshold adalah ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR maupun DPRD serta boleh tidaknya suatu partai mengusung kandidat capres-cawapres.

“Berapa pun persentase ambang batas parlemen yang ditentukan, baik 20 persen dari total kursi di DPR, 25 persen suara nasional, atau 0 persen, merupakan anomali yang menyimpang dari sistem presidensial. Sebab, pencalonan presiden tidak bisa didikte atas hasil pemilu legislatif,” tutur Haris, dalam diskusi Membatasi Ambang Presidensial di Gado-Gado Boplo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (6/5/2017).

Baca Juga: Kenapa Julia Perez Tak Kunjung Berobat ke Luar Negeri?

Syamsuddin berpendapat, penerapan mekanisme itu tidak lagi relevan. Sebab, format Pemilu 2019  diselenggarakan secara serentak.

Haris lantas menawarkan dua pilihan lain. Pertama, ambang batas pencalonan presiden tidak digunakan. Namun, tidak berarti partai-partai yang baru kali pertama menjadi peserta pemilu legislatif sehingga belum memiliki kursi di DPR dapat mencalonkan seseorang menjadi presiden.

Kedua, partai-partai baru dapat membentuk koalisi dengan partai-partai lama yang sudah memunyai perwakilan di DPR.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI