Suara.com - Peneliti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz menyebut, hak angket yang diajukan oleh anggota DPR kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KP) sebagai sebuah bentuk premanisme politik.
Ini dikarenakan selain tidak ada yang urgent, hak angket tersebut dinilai tidak melalui mekanisme yang diatur dalam undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau MD3.
"Berapa sih anggota DPR yang hadir kemarin saat paripurna dan setuju hak nagket? Pasti nggak tahu kan, karena tidak dihitung. Saya kira ini bentuk serangan, teror dan premanisme kpada KPK," katanya dalam diskusi bertajuk 'Meriam DPR untuk KPK' di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (6/5/2017).
Menurut Donal, ada dua model premanisme. Ada premanisme fisik, yang dilakukan secara langsung dengan menyerang fisik seseorang. Dia mengambil contoh peristiwa siraman air keras teehadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan.
"Ada yang kirim nota keberatan ke Presiden, tapi nggak jadi. Dan hak angket itu kemarin sebagai bentuk premanisme politik, untung Pak SBY bukan preman sehingga bisa mengerem kadernya untuk setujui angket kepada KPK itu," terangnya.
Menurut Donal, berdasarkan dokumen yang didapatnya dari hasil sidang paripurna, hanya ada 16 orang anggota DPR yang menyetujui angket terhadap KPK. Padahal, menurut Undang-undang MD3 paling sedikitnya disetujui oleh 25 orang.
"Syaratnya tidak terpenuhi. Kalau kita baca Pasal 199 UU MD3, diusulakn 25 orang. Cukup tidak 25 orang itu yang usulkan?," tanyanya.
Diketahui, Fahri Hamzah selaku Wakil Ketua DPR RI yang memimpin sidang paripurna saat itu mengesahkan bahwa hak angket terhadap KPK digunakan. Padahal, saat itu, masih banyak anggota DPR yang ingin mengajukan interupsi, karena keberatan dengan hal tersebut.