Geliat Kaum Yahudi di Indonesia: Ibadah Tertutup hingga 'Online'

Reza Gunadha Suara.Com
Kamis, 04 Mei 2017 | 19:47 WIB
Geliat Kaum Yahudi di Indonesia: Ibadah Tertutup hingga 'Online'
Sinagog
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Israel diprotes oleh Pemerintah Indonesia karena kebijakan agresi dan diskriminasinya terhadap warga Palestina. Predikat buruk zionisme Israel itu lantas menjalar pada stigma atas Yahudi, yang sebenarnya tak memunyai kaitan erat.

Namun, itu tidak berarti penganut Yahudi sebagai satu dari tiga sistem keagamaan besar tradisi Abrahamik—dua lainnya adalah Islam dan Nasrani—benar-benar tak bisa hidup dan berkembang di Indonesia.

Salah satu komunitas Yahudi yang berani menunjukkan jati dirinya adalah jemaat Sinagog (tempat ibadah Yahudi) "Shaar Hasyamayim" di Minahasa, Sulawesi Utara.

Bahkan, geliat komunitas Yahudi di Tondano tersebut turut menjadi perhatian media-media internasional, yang mengetahui Indonesia kekinian tengah diterpa badai aksi intoleransi. Salah satu yang memuat reportase komunitas itu adalah laman daring Daily Mail.

Baca Juga: Belajar Kasus Cak Budi, Khofifah: Tolong Amanah Dijaga

Dalam artikelnya berjudul "In Muslim Indonesia, tiny Jewish community lives on", Kamis (27/4) pekan lalu, sejumlah tokoh Yahudi di Tondano angkat suara.

"Kami di sini hidup rukun dengan beragam umat beragama lainnya. Bahkan, kami di sini bebas memakai kippah (peci Yahudi) di mal atau tempat-tempat publik, tidak ada masalah," tutur Yobby Hattie Ensel, pemimpin komunitas Yahudi Tondano.

Ia mengatakan, Sinagog Shaar Hasyamayim sendiri berdiri di tengah-tengah sejumlah gereja dan perkampungan warga dari beragam agama.

Meski diterima oleh masyarakat setempat, sewaktu-waktu timbul pula suasana "ketegangan" antara kaum Yahudi dengan umat beragama yang secara konstitusional diakui di Indonesia.

Baca Juga: Ternyata Kontrak Kerja Proyek e-KTP Diubah Sembilan Kali

Tahun 2013, misalnya, satu sinagog Yahudi di Surabaya dihancurkan. Sebelum dihancurkan, sinagog itu sebenarnya sudah lima tahun tak difungsikan, yakni sejak 2009 seiring gelombang protes anti-Israel.

Walaupun tak mendapat perlawanan fisik, Rabbi (pemuka agama Yahudi) sekaligus Ketua Persatuan Komunitas Yahudi Indonesia (UIJC), Benjamin Verbrugge, mengakui ketegangan seringkali muncul karena situasi politik  Timur Tengah, persisnya konflik Israel-Palestina.

"Persoalan antara warga Israel dan Palestina sangat memengaruhi kami di sini. Jika ada yang tertikam di sana, membuat kehidupan kami di sini tak nyaman," tuturnya.

Kalau situasi Israel-Palestina memanas, Rabbi Verbrugge mengatakan kaum Yahudi di Indonesia terpaksa beraktifitas secara sembunyi-sembunyi.

Ia mencontohkan, bulan April 2017, kaum Yahudi di Indonesia turut merayakan salah  satu hari besar tradisi Yahudi, "Purim".

"Tapi, karena situasi Israel-Palestina tengah memanas, kami terpaksa merayakan Hari Purim secara  tertutup di sebuah kamar kecil hotel," ungkapnya.

Dalam pendataan UIJC, kekinian terdapat 200 orang kaum Yahudi yang taat beribadah di Indonesia. Jumlah itu belum termasuk Yahudi yang tak mengungkap jati dirinya.

Ia menuturkan, jumlah penganut Yahudi tersebut tersebar di seluruh daerah Indonesia. Karenanya, sangat sulit untuk menyatukan semua umat dalam satu peribadatan.

Karena itu pula, Verbrugge mengakui terpaksa melanggar prinsip utama Yahudi, yakni tak boleh beraktifitas pada hari Sabat (Sabtu).

"Saya terpaksa menggunakan ponsel (telepon seluler) di hari Sabat, untuk memimpin seluruh jemaat beribadah secara online," tuturnya.

Jumlah resmi penganut Yahudi yang terdata UIJC tersebut, terbilang menurun jika dibandingkan dengan situasi pra-kemerdekaan.

Profesor Rotem Kowner dari University of Haifa, Israel, jumlah kaum Yahudi di Indonesia pra-Perang Dunia II mencapai 3.000 orang.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI