Kalijodo, sejak masa-masa penjajahan Belanda dikenal sebagai tempat orang mencari cinta. Kalijodo menjadi kawasan bantaran sungai yang sudah kesohor oleh para pedagang-pedagang Tionghoa. Di sini tempat para gadis pribumi mendendangkan lagu-lagu klasik Tiongkok di atas perahu-perahu yang ditambat di pinggir kali.
“Kali itu kan khusus, di kali itu dulu ada kegiatan ada upacara yang berhubungan dengan mencari jodoh, naik perahu,” cerita CEO Komunitas Historia Indonesia, Asep Kambali.
Kalijodo dikenal sebagai ajang mencari jodoh muda-mudi Jakarta saat tradisi Imlek, Peh Cun. Golongan perempuan akan menaiki perahu yang berbeda dengan kelompok lelaki. Perahu mereka akan saling berkejar-kejaran melintasi sepanjang Kali Angke. Jika ada salah satu perempuan yang ditaksir, maka lelaki di perahu lain akan melempar sebuah kue bernama Tiong Cu Pia yang terbuat dari tepung terigi dan berisi kacang hijau.
Baca Juga: Semarak Pesta Pendidikan 2017 di Kalijodo
Gusur
Di sepanjang sungai, kursi dan sofa bekas penggusuran masih bertumpuk. Penggusuran oleh Pemerintah DKI Jakarta atas kawasan ini telah terjadi sebanyak 3 kali. Berdasarkan buku 'Geger Kalijodo' yang ditulis oleh Khrisna Murti, penggusuran pertama kali terjadi pada 25 Januari 2002, dan penggusuran yang kedua terjadi pada Maret 2003. Terakhir penggusuran dilakukan Tahun 2016 lalu saat Ahok berkuasa.
Peristiwa penggusuran yang terjadi menjadi peristiwa. Ipul (29) tak ingin mengigat penggusuran itu.
“Ya kalau masalah itu sih, saya nggak bisa cerita,” katanya sambil duduk di kawasan Taman Kalijodo.
Baca Juga: Ahok Akan Kirim Brimob Usir Jukir Liar di Kalijodo
Sekarang, Kalijodo sudah berubah. Lokalisasi menjadi taman yang berisi banyak fasilitas olahraga dan tempat bersantai. Kini namanya, RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak) Kalijodo.