Suara.com - KPK menjadwalkan ulang pemanggilan Artalyta Suryani alias Ayin sebagai saksi dalam penyidikan tindak pidana korupsi pemberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.
"Untuk saksi Artalyta Suryani sesuai surat yang diterima KPK dari staf saksi, saat itu saksi sakit dan diberikan istirahat oleh dokter sekitar satu bulan. Penjadwalan ulang pemeriksaan akan dilakukan setelah itu, sekitar akhir Mei 2017," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu (3/5/2017).
KPK akan mendalami informasi dari pengusaha itu soal pengambilan kebijakan dalam penyidikan kasus tindak pidana korupsi pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim senilai Rp4,8 triliun sehingga merugikan negara Rp3,7 triliun dengan tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung.
Pada penyidikan kasus tersebut, KPK pada Rabu memeriksa mantan Kepala "Loan Work" Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Dira Kurniawan.
"Yang bersangkutan diperiksa sebagai mantan salah satu pejabat struktural di BPPN saat itu yang ditugaskan untuk mengurus BDNI termasuk salah satunya terkait dengan pengurusan tambak yang sedang kami dalami. Karena dalam kasus BLBI kami juga dalami relasi hak tagih petambak tersebut dengan obligor BLBI dan penerbitan SKL yang diduga dilakukan oleh tersangka," tuturnya.
Sebelumnya, pada Selasa (2/5) KPK memeriksa Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000-2001 Rizal Ramli.
"Jadi, pemeriksaan-pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui dalam rentang waktu tersebut setidaknya antara 2002-2004 untuk kasus yang kami dalami saat ini dan juga proses sebelumnya itu seperti apa," ucap Febri.
Rizal Ramli setelah diperiksa KPK menyatakan bahwa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tidak bisa dilepaskan peranannya dari tekanan IMF kepada Indonesia.
"Seperti diketahui di Asia pada 1997-1998 mengalami krisis, negara-negara tetangga kena krisis dan Indonesia juga kena. Kalau kita undang IMF, ekonomi Indonesia tetap kena krisis dan anjlok sekitar enam persen, dua persen bahkan nol persen," kata Rizal.
Namun, kata dia, Menteri Perekonomian pada waktu itu mengundang IMF akibatnya ekonomi Indonesia malah anjlok ke minus 13 persen.