Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Rizal Ramli mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi tengah menyelidiki kebijakan berupa Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002, yang dikeluarkan zaman Presiden Megawati Soekarnoputri. Inpres tersebut diteken Megawati sebagai dasar hukum penerbitan Surat Keterangan Lunas kepada para obligor penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
"Saya kira KPK masih dalam proses penyelidikan. Ada hal policy-nya yang salah, kebijakannya, tapi juga ada kemungkinan pelaksanaan yang salah," kata Rizal usai diperiksa penyidik di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta, Selasa (2/5/2017).
Rizal membandingkan penerbitan SKL BLBI kepada para obligor dengan kasus dana talangan atau bail out ke Bank Century di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurutnya dalam kasus Bank Century, sejak awal sudah salah dan kemudian dimaksudkan kategori merampok uang negara.
Namun, Rizal enggan menjelaskan apakah inpres yang diteken Megawati menyalahi aturan atau tidak. Rizal meminta hal tersebut ditanyakan langsung kepada KPK.
"Di dalam kasus BLBI ini, dalam Inpres ini tanya sama KPK saja. Semua ini masih diselidiki," kata Rizal.
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan KPK belum berencana memeriksa Megawati dalam mengusut penerbitan SKL BLBI kepada BDNI milik Sjamsul Nursalim. KPK masih fokus mendalami keputusan yang diambil Badan Penyehatan Perbankan Nasional, yang ketika itu dipimpin Syafruddin Arsyad Temenggung, dalam menerbitkan SKL kepada para obligor penerima BLBI.
"Kita belum berandai-andai sejauh itu. Kita dalami fakta yang ingin didalami terutama BPPN, KKSK dan menteri dalam ruang lingkup dalam tahapan kebijakan impelentasi BLBI tersebut," katanya.
Dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002, Komite Kebijakan Sektor Keuangan, beranggotakan Menko Ekuin, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Menteri Negara BUMN, Jaksa Agung, Kapolri, serta Ketua BPPN. KKSK bertugas membahas dan memastikan apakah para obligor telah melunasi BLBI, sehingga bisa dikeluarkannya SKL oleh BPPN.
Kasus tersebut sekarang diusut KPK. Dalam kasus ini, KPK baru menetapkan Syafruddin menjadi tersangka. Tindakan Syafruddin diduga merugikan keuangan negara hingga Rp3,7 triliun. Pasalnya, Sjamsul Nursalim baru melunasi Rp1,1 triliun, dari sisa utang Rp4,8 triliun.
KPK juga akan meminta keterangan Sjamsul Nursalim yang kini berada di Singapura.
"Saya kira KPK masih dalam proses penyelidikan. Ada hal policy-nya yang salah, kebijakannya, tapi juga ada kemungkinan pelaksanaan yang salah," kata Rizal usai diperiksa penyidik di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta, Selasa (2/5/2017).
Rizal membandingkan penerbitan SKL BLBI kepada para obligor dengan kasus dana talangan atau bail out ke Bank Century di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurutnya dalam kasus Bank Century, sejak awal sudah salah dan kemudian dimaksudkan kategori merampok uang negara.
Namun, Rizal enggan menjelaskan apakah inpres yang diteken Megawati menyalahi aturan atau tidak. Rizal meminta hal tersebut ditanyakan langsung kepada KPK.
"Di dalam kasus BLBI ini, dalam Inpres ini tanya sama KPK saja. Semua ini masih diselidiki," kata Rizal.
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan KPK belum berencana memeriksa Megawati dalam mengusut penerbitan SKL BLBI kepada BDNI milik Sjamsul Nursalim. KPK masih fokus mendalami keputusan yang diambil Badan Penyehatan Perbankan Nasional, yang ketika itu dipimpin Syafruddin Arsyad Temenggung, dalam menerbitkan SKL kepada para obligor penerima BLBI.
"Kita belum berandai-andai sejauh itu. Kita dalami fakta yang ingin didalami terutama BPPN, KKSK dan menteri dalam ruang lingkup dalam tahapan kebijakan impelentasi BLBI tersebut," katanya.
Dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002, Komite Kebijakan Sektor Keuangan, beranggotakan Menko Ekuin, Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Menteri Negara BUMN, Jaksa Agung, Kapolri, serta Ketua BPPN. KKSK bertugas membahas dan memastikan apakah para obligor telah melunasi BLBI, sehingga bisa dikeluarkannya SKL oleh BPPN.
Kasus tersebut sekarang diusut KPK. Dalam kasus ini, KPK baru menetapkan Syafruddin menjadi tersangka. Tindakan Syafruddin diduga merugikan keuangan negara hingga Rp3,7 triliun. Pasalnya, Sjamsul Nursalim baru melunasi Rp1,1 triliun, dari sisa utang Rp4,8 triliun.
KPK juga akan meminta keterangan Sjamsul Nursalim yang kini berada di Singapura.