Suara.com - Demo buruh memperingati May Day 2017 dihiasi berbagai poster tuntutan, mulai dari upah layah sampai kesejahteraan. Ada yang berbeda jika mengintip aksi demonstrasi dari kelompok buruh media dan industri kreatif. Mereka membuka situasi kerja mereka selama ini.
Koordinator Presidium Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (SINDIKASI) Ellena Ekarahendy bercerita, bekerja lembur dan tidak dapat upah tambahan adalah hal bisa dan membudaya di sektor industri kreatif. Wajarnya, mereka bekerja 8 jam sehari. Tapi bisa molor karena pekerjaan sampai 12 jam.
“Itu kayaknya sudah jadi hal ‘wajar’, kerja lebih dari 8 jam per hari,” kata Ellena saat berbincang dengan suara.com, Senin (1/5/2017).
“Nggak jarang juga yang sampai subuh kalau lagi ada deadline yang tenggatnya parah atau dipercepat,” lanjut dia.
Salah satu sindiran situasi pekerja media dan industri kreatif adalah kurangnya waktu untuk pribadi. ‘Curhat’ itu ditulis dalam poster mereka, “Kurangi Jam Kerja, Perbanyak Bercinta”.
Ellena mengatakan sindiran itu bukan main-main. Sindiran itu, untuk mengartikan kondisi bekerja di industri kreatif dan media tidak adil. Ellena bekerja sebagai desainer di sebuah perusahaan kreatif di Jakarta Pusat. Bekerja lembur tak dibayar sudah biasa dia lakoni.
Kondisi kerja seperti itu membuat beberapa temannya mengalami tekanan mental. Mereka bekerja dalam tekanan mental.
“Cuma kapitalsime industri kreatif yang bikin kita memeras emosi demi kerja, sampai akhirnya kita hilang sensitivitas emosional sampai rumah. Tanpa waktu untuk afeksi, teman, dan pasangan tingkat stres malah akan makin terepresi. Lagi pula, kita berhak punya 8 jam berekreasi!” kata Ellena.
Makanya, kata dia, sindiran “Kurangi Jam Kerja, Perbanyak Bercinta” untuk pekerja media dan industri kreatif bukan candaan. Kata ‘bercinta’ itu punya arti luas, kata Ellena. Salah satunya mempunyai waktu untuk keluarga dan teman.
“Emang kebutuhn afeksi itu penting? Ya penting. Coba tanya aja teman-teman kalian pekerja industri kreatif: berapa kali tahan stres dalam sebulan. Jangan sama pacar (itu pun kalau berkesempatan punya), sama teman saja susah. Apalagi sama keluarga. Kapitalisme mengalienasi manusia!” papar Ellena.
Menurut Ellena sudah saatnya pekerja media dan industri kreatif bergabung untuk menyikapi persoalan itu.
“Agustus ini akan Kongres Sindikasi dan pencatatan resmi ke Disnaker DKI Jakarta. Sambil menuju ke sana kami akan ada riset soal kondisi kerja, edukasi kawan-kawan pekerja, dan pengawalan isu tentang barcode media dan K3 dalam industri kreatif,” tutup dia.
Jadi tulang punggung, tapi kesejahteraan buruh minim
Sindikasi mencatat kontribusi industri kreatif bagi negara dilihat cukup signifikan dan berpotensi terus meningkat di masa depan. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015, industri kreatif menyumbangkan Rp 852 triliun atau 7,38 persen terhadap Produk Domestik Bruto nasional, nilai ekspor 19,4 miliar dolar AS (12,88 persen), dengan menyerap 15,9 juta tenaga kerja (13,90 persen).
Namun demikian, para pekerja yang menjadi roda penggerak dari industri ini justru memiliki setumpuk masalah ketenagakerjaan yang relatif tidak pernah diangkat ke permukaan. Misalnya, masih dalam sensus yang sama, 31,9 persen pekerja kreatif menghabiskan lebih dari 48 jam kerja tiap pekan atau lebih tinggi dari batas 40 jam tiap pekan seperti dalam Undang-undang Ketenagakerjaan.
Artinya, lebih dari sepertiga pekerja kreatif Indonesia mengalami overwork atau berkelebihan kerja. Salah satu penyebabnya adalah hubungan kerja yang semakin tidak standar (kontrak, outsourcing, magang tanpa upah) sehingga pekerja tak punya nilai tawar di hadapan pengusaha dan perlindungan negara; serta berbagai persoalan hubungan kerja dalam bentuk lainnya, seperti freepitching.
Kondisi para pekerja dalam industri media yang lanskapnya berubah cepat seiring dengan perkembangan teknologi digital, salah satunya konvergensi yang dilakukan oleh sejumlah media. Sementara itu, kasus PHK sepihak trennya meningkat dari 2015 ke 2016. Contohnya, kasus Harian Semarang, Cakra TV, Bloomberg TV, serta Kompas Gramedia, dan berbagai kasus lainnya yang tidak dilaporkan. Teranyar, kasus PHK belasan karyawan Indonesia Finance Today (IFT) pada 2016 lalu yang tak dibayarkan pesangon serta gaji terakhir akhirnya berujung ke ranah pidana.
Jumlah media terus tumbuh, kesejahteraan pekerja media minim, dan selalu dibayangi kasus ketenagakerjaan. Ironisnya, serikat-serikat pekerja tetap sulit tumbuh di perusahaan-perusahaan pers besar nasional maupun daerah.
Data terakhir yang dihimpun dari riset Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen hanya ada 25 serikat pekerja media yang bisa diidentifikasi di seluruh Indonesia. Jumlah ini terbilang sangat minim, hanya sekitar 1 persen dari jumlah media berdasarkan data Dewan Pers.
Selain itu, perjuangan kelas buruh memerlukan dukungan media alternatif dan komunitas yang lahir sebagai akibat dari monopoli kepemilikan media oleh politikus dan kapitalis yang telah merebut independensi media arus utama.