KPK: Belum Ada Imbalan Dalam Kasus SKL BLBI

Adhitya Himawan Suara.Com
Kamis, 27 April 2017 | 06:29 WIB
KPK: Belum Ada Imbalan Dalam Kasus SKL BLBI
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah. [Suara.com/Ummi Hadyah Saleh]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Komisi Pemberantasan Korupsi belum menyampaikan adanya "kick back" (imbalan) dalam kasus tindak pidana korupsi pemberian surat keterangan lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim senilai Rp4,8 triliun, sehingga merugikan negara Rp3,7 triliun, dengan tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung.

"Terkait dengan apakah ada atau tidak 'kick back' terhadap tersangka atau terhadap pihak lain, jika ada tidak bisa disampaikan saat ini karena itu termasuk informasi yang bersifat rinci dalam proses penyidikan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di gedung KPK, Jakarta, Rabu (26/4/2017).

Namun, kata Febri, KPK memiliki kewajiban mengumpulkan semua bukti untuk memenuhi unsur-unsur yang ada mulai dari apakah itu perbuatan melawan hukum, kerugian keuangan negara, penyalahgunaan wewenang, dan juga unsur pihak yang diperkaya baik memperkaya diri sendiri, orang lain maupun korporasi.

"Jadi, tiga hal itu yang kami akan buktikan nanti dalam proses pemeriksaan dan akan kami dalami lebih lanjut. Memperkaya diri sendirinya itu ada atau tidak, kalau ada berapa, orang lainnya itu siapa atau korporasinya itu siapa, tentu itu akan kami proses dalam tahap penyidikan ini," kata Febri.

Baca Juga: Kasus Keterangan Palsu Miryam, KPK Serentak Geledah 4 Lokasi

Lebih lanjut ia mengatakan, pada tahap penyidikan awal ini tentu KPK melihat tidak hanya perbuatan yang dilakukan oleh tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT) sebagai Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada saat itu.

"Tentu saja perbuatan dari tersangka ini harus dilihat posisi hubungan dan kewenangannya dengan instansi lain atau pejabat-pejabat yang lainnya," katanya.

Karena itu, menurut Febri, KPK membutuhkan keterangan saksi-saksi pada proses penyelidikan, dan KPK sudah melakukan permintaan keterangan terhadap 32 saksi dari berbagai unsur.

"Mulai dari unsur KKSK, Bank Indonesia, Setneg, dan Kemenkeu. Dari sana lah kami lihat siapa saja pihak-pihak yang memiliki kewenangan dan bagaimana alur proses penerbitan SKL tersebut," ujar Febri lagi.

Syafruddin selaku Ketua BPPN diduga menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan perekonomian negara dalam penerbitan SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI pada tahun 2004.

Atas penerbitan SKL itu diduga kerugian negara sekurang-kurangnya Rp3,7 triliun. SAT disangkakan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI