Suara.com - Kesimpulan pengajuan hak angket dari Komisi III DPR kepada Komisi Pemberantasan Korupsi akan dibacakan dalam rapat paripurna, Kamis (27/4/2017). Hak angket diajukan untuk mendesak KPK membuka rekaman hasil pemeriksaan terhadap anggota Komisi V DPR dari Fraksi Hanura Miryam S. Haryani dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.
"Untuk besok yang jelas surat dari Komisi III kami perlu baca besok, karena surat sudah masuk," kata Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah di DPR, Rabu (26/4/2017).
Rapat paripurna, besok, akan memutuskan untuk melanjutkan usulan hak angket ini atau tidak.
"Kalau setuju, maka disetujui penggunaan hak angket, setelah itu dibentuk panitia angket, pansus angket. Kalau sudah fraksi-fraksi menyerahkan nama maka terbentuk pansus angket," ujar Fahri.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra Fadli Zon mengatakan surat dari Komisi III sudah disampaikan kepada pimpinan DPR beberapa yang waktu lalu.
"Dari Komisi III, suratnya sudah. Nanti diputuskan dalam paripurna," katanya.
Miryam merupakan saksi penting dalam kasus e-KTP. Dia pernah menyebut sejumlah nama politikus berpengaruh dalam kasus dugaan korupsi e-KTP. Dalam perkembangannya, Miryam mencabut kembali kesaksian yang pernah disampaiken ke penyidik KPK. Dia menuduh penyidik mengintimidasinya agar bicara.
Tapi, penyidik KPK menegaskan pemeriksaan terhadap Miryam mengikuti prosedur. Belakangan, Miryam dijadikan tersangka kasus memberikan keterangan palsu.
Kasus e-KTP menjadi sorotan karena diduga melibatkan banyak orang berpengaruh. Kasus ini merugikan negara Rp2,3 triliun.
Penggunaan hak angket anggota DPR untuk meminta KPK membuka rekaman hasil pemeriksaan bukan bentuk pengawasan. Sebaliknya, hali tu dinilai sebagai intervensi politik yang sudah mengarah kepada perbuatan korupsi.
"Letak korupsinya adalah pada upaya untuk menghalang-halangi atau merintangi penyidikan kasus dugaan korupsi, sebagaimana telah dikonstatir melalui Pasal 9 huruf e UU Nomor. 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan eksekutif, legislatif dan yudikatif," kata Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia, Petrus Selestinus, melalui keterangan tertulis.
Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan legislatif menurut ketentuan pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikualifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi.
Yaitu, setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa atau para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 12 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.