Suara.com - Penerapan CEDAW atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan masih berat dilakukan di Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Salah satu yang masih diperdebatkan di OKI adalah soal praktik poligami atau pernikahan lelaki lebih dari 1 istri.
Hal itu dikatakan Komisioner HAM OKI, Siti Ruhaeni Dzuhayatin Dalam Seminar Internasional Ulama Perempuan di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Jawa Barat, Selasa (25/4/2017).
Kata dia, Komisi HAM OKI membahas isu hak-hak perempuan dan anak, hak-hak minoritas, dan hak-hak warga beragama Islam di negara-negara di luar OKI seperti Rohingya dan Kashmir.
“Tantangan HAM di negara anggota OKI adalah persoalan penerapan CEDAW. Belum lagi beratnya persoalan LGBT, yang hanya diakui satu orientasi seksual saja. Maka, kami sampaikan di OKI soal penting dan keharusan perlindungan terhadap hak-hak mereka sebagai warga negara,” kata Siti.
Baca Juga: Ulama Perempuan Malaysia: Indonesia Cukup Baik soal Kesetaraan
Dia memaparkan tantangan isu perempuan di OKI. Pertama, hak asasi perempuan yang harus dimainstreamkan di negara-negara anggota OKI. Karena tidak semua sepakat.
“Bahkan ada buku yang diproduksi dalam komisi ini bahwa poligami tidak bertentangan dengan Islam. Padahal praktek poligami ada jauh sebelum Islam. Islam bertujuan justru pada perkawinan monogamy,” jelasnya.
Selain itu ada posisi binari yang diambil dalam diskusi-diskusi yang ingin dihasilkan oleh komisi HAM OKI. Yakni bagaimana membangun HAM dalam Islam agar negara Barat bisa memahami ini.
“Karena pengetahuan tentang Islam di Barat adalah radikalisme. Padahal ini bukan wajah satu-satunya di Islam. Untuk itu komisi ini harus bekerjasama dengan Barat agar Islam bisa memberikan kontribusi bagi prinsip-prinsip HAM,” papar dia lagi.
Baca Juga: Milla: Kalau Madrid Menang, Liga Berakhir