Penggunaan Hak Angket anggota DPR untuk memaksa KPK membuka rekaman hasil pemeriksaan penyidik KPK dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik tidak bisa dilihat sebagai bentuk pengawasan DPR. Hal itu dinilai sebagai sebuah intervensi politik yang sudah mengarah kepada perbuatan korupsi.
"Letak korupsinya adalah pada upaya untuk menghalang-halangi atau merintangi penyidikan kasus dugaan korupsi, sebagaimana telah dikonstatir melalui Pasal 9 huruf e UU Nomor. 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan eksekutif, legislatif dan yudikatif," kata Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia, Petrus Selestinus melalui keterangan tertulisnya, Selasa (25/4/2017).
Kata dia, hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan legislatif menurut ketentuan pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikualifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi. Yaitu, setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa atau para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 12 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000 dan paling banyak Rp600.000.000.
"Karena itu Pimpinan KPK tidak boleh ragu-ragu dan harus memastikan bahwa langkah Komisi III DPR RI dengan Hak angketnya itu sudah merupakan tindakan yang menyalahgunakan wewenang DPR. Oleh karena itu, sudah dapat dikualifikasi sebagai Tindak Pidana Korupsi, karena secara langsung atau tidak langsung bertujuan untuk mencegah, merintangi atau menggagalkan penyidikan kasus korupsi e-KTP yang tengah ditangani oleh KPK," katanya.
Baca Juga: Gerindra Belum Bersikap soal Hak Angket Korupsi e-KTP
Pakar Hukum tersebut pun meminta KPK untuk segera membuka penyidikan baru terahdap sejumlah anggota Komisi III DPR RI. Pasalanya, merekalah yang menginisiasi penggunaan Hak angket DPR untuk memaksa KPK membuka Berita Acara pemeriksaan mantan Anggota Komisi II DPR RI Miryam S. Haryani.
Menurut Petrus, sebagai komisi yang membidangi hukum dan perundang-undangan dengan fungsi utama mengawasi, seharusnya DPR bisa mengawasi jalannya proyek e-KTP sehingga tidak terjadi korupsi. Bukan sebaliknya, menghambat kinerja KPK dalam mengusut kasus yang menyebabkan negara rugi hingga Rp2,3 triliun tersebut.
"DPR seharusnya meminta maaf kepada publik atas tidak berfungsinya pengawasan DPR atas kejadian korupsi e-KTP, dimana tak ada satupun Anggota DPR di Komisi III yang mau menghalang-halangi kejadian korupsi di Komisi II DPR RI pada waktu itu," katanya.
Namun, kata Petrus hal sebaliknya malah dilakukan oleh DPR. Mereka malah mengawasi KPK yang sudah berhasil mengungkapkan kejahatan megakorupsi tersebut dengan mengajukan hak angket.
"Ini namanya kesewenang-wenangan melakukan intervensi sekaligus melahirkan tindak pidana korupsi baru seperti dimaksud Pasal 21 UU Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,".
"Pilihan sikap yang paling tepat adalah hentikan penggunaan Hak angket, dorong Maryam S Haryani bersikap apa adanya dan ikuti saja proses hukum, mempercayakan segala hal pada mekanisme hukum yang berlaku yaitu pada proses hukum acara pidana dan pembuktian di persidangan yang terbuka untuk umum dalam perkara tindak pidana korupsi e-KTP," kata Petrus.