Suara.com - Sidang kasus dugaan penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), hari ini, Kamis (20/4/2017), direncanakan akan kembali digelar di ruang sidang Aula Kementan, Ragunan. Agendanya hari ini adalah pembacaan tuntutan dari pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Terkait hal itu, pakar hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Prof Hibnu Nugroho, memandang bahwa yang akan menarik dan banyak ditunggu sebenarnya adalah dua kemungkinan pasal tuntutan yang akan dipakai JPU.
"Ini kan ada dua kemungkinan ya, apakah akan dipakai Pasal 156 atau 156a (KUHP), di mana yang pertama adalah tuntutannya hukuman penjara (maksimal) 4 tahun, sedangkan yang kedua 5 tahun," ungkap Hibnu, saat dihubungi Suara.com via telepon, Kamis (20/4).
"Kenapa disebut ini akan jadi ramai, karena dampaknya dari tuntutan itu. Di mana kalau dituntut dengan Pasal 156a, maka Mendagri harus konsisten (sesuai peraturan perundang-undangan), harus menonaktifkan Basuki Tjahaja Purnama dari jabatan Gubernur DKI Jakarta, yang artinya tidak bisa lagi menjabat sampai Oktober" jelasnya.
Lebih jauh, Hibnu mengaku tidak begitu bisa memastikan akan ke mana arah tuntutan JPU hari ini, terutama lantaran berada di luar persidangan. Namun menurutnya, berdasarkan perkembangan persidangan yang bisa dicermati selama ini, ada kemungkinan arahnya JPU akan menyampaikan tuntutan yang lebih berat.
"Yang kita tahu, JPU kan selama ini tampaknya pendekatannya lebih pada 'perbuatan', yang menggunakan alasan subyektif dan obyektif. Sementara kalau dari pihak penasehat hukum (terdakwa) kan lebih kepada alasan obyektif. Ini yang harus ketemu, harus dibuktikan JPU di pembacaan tuntutan," ujar Hibnu, sambil menambahkan bahwa di sisi itulah kemudian debatnya akan ramai.
Hibnu sendiri di awal-awal persidangan pada Januari lalu diketahui pernah menyampaikan bahwa keterangan saksi dalam sidang Ahok ini bisa dikatakan tak bernilai. Intinya, saat itu menurut Hibnu, para saksi tidak memenuhi unsur kaidah doktrin saksi dalam ilmu hukum, di mana antara lain bahwa saksi adalah apa yang dilihat, apa yang didengar dan apa yang dialami.
Namun kepada Suara.com, Hibnu mengatakan bahwa pada perkembangannya, nyatanya kemudian JPU terus menambahkan bukti-bukti dan keterangan lain, terutama dalam hal ini pendapat saksi ahli (pakar). Hal ini kemudian bisa menguatkan kasus tersebut, sehingga mengarah pada tuntutan yang akan dibacakan hari ini. Hanya saja dia menggarisbawahi, bahwa keterangan saksi ahli pada dasarnya nlainya adalah bebas, dalam arti bisa dipakai dan bisa pula tidak.
Di sisi lain, beberapa hari lalu pihak LBH Jakarta diketahui merilis pembelaan terhadap status Ahok dalam persidangan kasus ini, dengan meluncurkan Amicus Curiae (Sahabat Peradilan). Dalam rilisnya, Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa, pada intinya menyatakan bahwa Ahok dalam kasus ini telah menjadi korban dari penggunaan pasal anti-demokrasi (Pasal 156a KUHP).
Berdasarkan Amicus Curiae yang diberikan itu, LBH Jakarta pun telah menyampaikan empat rekomendasi kepada Majelis Hakim pada perkara Ahok, yang isinya antara lain sebagai berikut:
1. Agar Majelis Hakim pada perkara 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr menjunjung tinggi penegakan hukum dan hak asasi manusia dalam memutus perkara dugaan penodaan agama tersebut, terutama yang berkaitan dengan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi serta hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, sebagaimana dijamin di dalam konstitusi.
2. Agar Majelis Hakim dalam kasus Ahok tersebut menerapkan Pasal 156a KUHP sebagai delik materiil, dan oleh karenanya, mens rea untuk memenuhi unsur huruf b Pasal 156a KUHP yang tidak diuraikan oleh JPU dalam dakwaannya tidaklah terpenuhi.
3. Agar Majelis Hakim yang menangani perkara penodaan agama dapat menerapkan hukum yang kontekstual dan sejalan dengan produk-produk peradilan yang ada sebelumnya, seperti mengacu pada:
-Putusan MK No. 84/PUU-X/2012 terkait harus adanya peringatan berupa SKB 3 Menteri dan pengulangan perbuatan setelah terbitnya peringatan tersebut sebelum menerapkan pasal dengan sanksi pidana.
-Menerapkan asas lex posterior derogat legi priori, sehingga tidak serta merta menerapkan Pasal 156a KUHP yang jelas bertentangan dengan Konstitusi, UU No. 9/1998, UU 39/1999 dan UU 12/2005;
4. Agar majelis hakim menerapkan asas legalitas dalam wujud lex certa, sehingga penggunaan Pasal 156a KUHP, khususnya pada unsur “Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” dapat dihindari karena terlampau multitafsir.
Terkait hal ini, pihak LBH Jakarta yang coba dikontak pagi ini untuk memberikan keterangan lebih jauh, masih belum bisa dihubungi.