Suara.com - Hari yang ditunggu-tunggu banyak orang akhirnya datang juga, yakni “putaran final” Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta, Rabu (19/4/2017). Namun, setelah melewati rentetan peristiwa sebelumnya, 19 April bukan lagi sekadar hari pencoblosan bagi warga ibu kota, tapi juga sebagai pembuktian akal sehat mereka yang sudah diremehkan.
Benar, akal sehat warga ibu kota yang menjadi calon pemilih dalam pilkada kali ini sudah diremehkan. Pasalnya, terdapat sekelompok pihak yang tak memercayai orang-orang Jakarta mampu mengikuti pilkada secara baik.
Orang-orang Jakarta juga dianggap tak mampu menjaga keamanan dan melawan intimidasi saat akan memberikan hak suara. Karenanya, perlu mobilisasi massa dari luar daerah untuk menjaga pilkada orang-orang metropolitan.
Saking tak percayanya, sejumlah kelompok merencanakan aksi bertajuk “Tamasya Al Maidah”, yakni memobilisasi massa dari daerah-daerah dekat Jakarta untuk mendatangi tempat-tempat pemungutan suara (TPS) pada “hari H” pilkada.
Baca Juga: Astaga! 7 Selebriti Hollywood Ini Punya Kebiasaan Buruk yang Aneh
"Kok, kalau orang dari daerah lain masuk ke Jakarta saat hari pencoblosan pilkada, kan sepertinya tidak percaya orang Jakarta," tutur Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, saat mengomentari rencana Tamasya Al Maidah, Selasa (18/4).
Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat, juga meminta kepada warga luar daerah tidak ke ibu kota dan ikut-ikutan mengawasi pilkada.
"Saya meminta kepada saudara-saudaraku yang dari luar ibu kota, serahkan sepenuhnya pengamanan pilkada kepada warga Jakarta sendiri, serta kepada aparat yang bertugas. Jakarta sudah aman, " ujar Djarot di Terminal Pulogebang, Jakarta Timur, Selasa.
Bahkan, ia menyindir rencana mobilisasi massa luar daerah tersebut. Djarot meminta warga luar Jakarta tidak membuang-buang energi untuk datang ke Jakarta. Kalaupun ingin bertamasya, ia mengatakan banyak lokasi wisata di ibu kota yang menarik ketimbang TPS.
"Jadi tidak usah capek-capek datang ke Jakarta. Kalau mau tamasya, yang baik itu tamasya di tempat-tempat menyenangkan. Tidak usah tamasya ke TPS, karena di TPS tidak ada pertunjukkan. Tidak ada pemandangan seperti di pantai atau gunung," tegasnya.
Baca Juga: Surat Suara yang Rusak Diperlakukan Seperti Ini Oleh Sumarno
Skandal Demokrasi
Dalam bahasa yang “legit” dan paling moderat, mobilisasi massa tersebut direncanakan karena tak lagi memercayai Pilkada DKI merupakan instrumen demokrasi liberal yang bisa menjamin keadilan. Sistem demokratis itu dianggap telah dikuasai oleh para pemodal yang secara mudah bisa membeli banyak suara warga untuk keuntungan "jagonya".
Selain itu, pilkada sebagai instrumen demokrasi liberal dituduh memberikan porsi terlalu besar terhadap kedaulatan individu. Alhasil, mereka mencurigai kalau kandidat lawan menang, maka kaum mayoritas justru berada dalam bahaya.
Karenanya, menambah jumlah massa untuk mengontrol proses politik elektoral tersebut menjadi satu-satunya cara untuk menjamin demokrasi tak "dibajak". Dengan kata lain, kelompok-kelompok yang memobilisasi massa itulah yang menjadi barisan terdepan pembela demokrasi.
Sebenarnya, persoalan ketidakpercayaan terhadap sistem pemilihan demokratis liberal seperti pilkada ini tak khas Indonesia. Prancis, yang bisa dikatakan menjadi negara demokrasi paling liberal pun memunyai persoalan yang sama. Di negeri tersebut, banyak kelompok yang mencaci sistem pemilihan karena dianggap tak demokratis.
Namun, seorang filsuf politik Prancis, Jasques Ranciere, justru memunyai pemikiran sebaliknya. Dalam karya babonnya berjudul "La Haine de la démocratie" (Paris: éditions La Fabrique, 2005), ia hendak menunjukkan bahwa orang-orang yang tak memercayai prosedur demokrasi tersebut justru tak menyukai demokrasi itu sendiri.
Bagaimana bisa? "Demokrasi sebenarnya adalah sistem yang memberikan kekuasaan kepada siapa saja! bandit ataupun orang baik. Sejak dulu, itulah skandal demokrasi," tulis Ranciere dalam buku tersebut.
Selanjutnya, Ranciere balik menuding bahwa para pengkritik demokrasi sebenarnya adalah bagian dari kaum oligarkis atau elite yang tak ikhlas sistem demokrasi mengambilalih seluruh hak-hak istimewanya.
Para pengkritik demokrasi, kata Ranciere, justru memosisikan diri sebagai sekelompok kecil orang yang merasa "tahu" apa itu demokrasi, dan merasa harus memberitahu rakyat yang bodoh bahwa kalau demokrasi diperlakukan seperti "kacang goreng" yang dijual bebas, bisa mengarah ke anarkisme dan totalitarianisme.
Ironisnya, Ranciere menilai orang-orang yang mengkritik demokrasi itu "dibajak" atau tak lagi adil serta mengakomodasi suara kaum mayoritas, justru merupakan kelompok yang ingin melanggengkan tatanan oligarkis serta elitis.
Lantas, bagaimana solusinya? Ranciere sebenarnya tak menawarkan satu pun solusi yang bisa dianggap ”obat mujarab” bagi hal tersebut. Sebab, baginya, demokrasi sendiri sudah menjadi skandal sejak kelahirannya, karena membuka peluang bagi orang baik maupun jahat untuk berkuasa.
Karenanya, satu-satunya solusi agar proses demokrasi seperti Pilkada DKI Jakarta 2017 berjalan lancar adalah membiarkan warganya sendiri menentukan pilihan. Tak boleh ada satu pun orang yang meremehkan kesiapan dan akal sehat warga Jakarta sendiri.
Itu seperti yang dipesankan Presiden Joko Widodo sehari menjelang hari pencoblosan.
”Presiden berpesan agar hak-hak konstitusi, hak pilih rakyat harus dihormati, dijaga dan dilindungi agar mereka dapat menyalurkan hak pilihnya sebebasnya, dengan aspirasi yang mereka anut, tidak ada intimidasi," kata Menkopolhukam Wiranto.