Chairil Anwar, Sang Bohemian yang Diusul Jadi Pahlawan Nasional

Reza Gunadha Suara.Com
Jum'at, 14 April 2017 | 13:27 WIB
Chairil Anwar, Sang Bohemian yang Diusul Jadi Pahlawan Nasional
Grafiti Chairil Anwar. [Net]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sejumlah budayawan dan sastrawan asal Minangkabau, Provinsi Sumatera Barat menggagas dan hendak mengusulkan agar penyair cum pejuang kemerdekaan 1945 terkemuka Chairil Anwar, diangkat menjadi pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia.

Usulan tersebut berdasarkan sejarah bahwa Chairil yang dikenal bergaya hidup bohemian, ikut berjuang untuk bangsa dan negara melalui karya-karya sastranya. Bahkan, karya-karya sang maestro dijadikan alat perjuangan.

Ketua Forum Inisiator Pengusulan Chairil Anwar menjadi Pahlawan Nasional, Gus TF, mengatakan sang penyair besar layak bergelar pahlawan nasional berdasarkan karya-karyanya.

Baca Juga: Puncak Macet, Polisi Sarankan Jangan Lewat Jalur Alternatif

"Selain karya-karyanya, Chairil juga punya hubungan yang erat dengan pejuang nasional Indonesia lainnya sekelas Sutan Syahrir, Sukarni dan Khairul Saleh," terangnya.

Forum Inisiator Pengusulan Chairil Anwar menjadi Pahlawan Nasional itu beranggotakan para sastrawan dan budayawan Minangkabau, seperti Khairul Jasmi, Iyut Fitra, Yulfian Azrial, Yudilfan Habib dan Rayfoster WM.

Kemudian, Muhammad Bayu Vesky, Yusra Maiza, Fajar Rillah Vesky, Adri Sandra, Nasrul Azwar, Dr Yusril serta Ade Suhendra.

Yulfian Azrial, Budayawan Minang lainnya, mengatakan Chairil bisa berpredikat pahlawan nasional merujuk pada penobatan WR Supratman sebagai pahlawan nasional lewat lagu Indonesia Raya yang ia ciptakan.

"Jadi, jika WR Supratman dinobatkan lewat lagu Indonesia Raya, maka Chairil Anwar juga berjuang lewat karya-karya puisinya yang monumental," tambahnya.

Baca Juga: Libur Panjang, Jalur Puncak Padat Merayap

Sementara wartawan senior Minang, Khairul Jasmi, mengemukakan usulan gelar pahlawan nasional untuk Chairil Anwar bukanlah sekadar wacana.

"Ini bukanlah wacana muluk-muluk, kami serius soal ini," katanya.

Ia menuturkan, susunan pengurus dan anggota Forum Inisiator ini diketuai oleh Gus TF Sakai, Wakil Ketua Iyut Fitra, Sekretaris Yulfian Azrial, Wakil Sekretaris Rayfoster WM dan Yusra Maiza sebagai Bendahara.

Penyair sekaligus Wakil Ketua Forum Inisiator, Iyut Fitra mengatakan dalam waktu dekat akan diadakan serangkaian kegiatan dalam mewujudkan gelar pahlawan nasional untuk Chairil Anwar.

Menurut dia, mereka juga akan menggandeng Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota, kemudian meneruskan rekomendasi kepada gubernur untuk kemudian diusulkan ke pemerintah pusat, melalui Kementerian Sosial RI.

"Kami akan segera laporkan hasil pertemuan ini secara berjenjang dan Bupati Limapuluh Kota juga ikut mendukungnya," katanya.

Apresiasi terhadap sosok Chairil Anwar sudah lama diberikan kalangan seniman dan budayawan Minangkabau.

Bahkan empat tahun lalu, Rumah Budaya Fadli Zon yang berlokasi di Nagari Aia Angek, Kota Padang Panjang atau tepatnya di ruas jalan raya Padangpanjang-Bukittinggi di KM6, telah pula meresmikan meresmikan patung sastrawan itu.

Peresmian patung Chairil Anwar dalam memperingati 91 tahun penyair terkemuka Indonesia tersebut. Patung diresmikan langsung oleh putri mendiang, Evawani Alissa Chairil Anwar.

Patung tersebut berbahan perunggu karya Bambang Win, dan merupakan salah satu bentuk apresiasi Rumah Budaya Fadli Zon terhadap Chairil Anwar yang sudah berjasa dalam dunia kesusastraan Indonesia.

"Saya berterima kasih atas penghargaan yang diberikan kepada orang tua saya dari Rumah Budaya Fadli Zon," ucap Evawani Alissa Chairil Anwar saat itu.

Banyaknya tokoh dan seniman serta budayawan yang terlibat dalam kegiatan ini,  juga menjadi bukti bahwa Chairil Anwar sangat dicintai sampai saat ini seperti Taufiq Ismail, Iman Sholeh, Joserizal Manua, Upita Agustin, Iyut Fitra, dan Fadli Zon.

Para tokoh seniman itu membacakan berbagai puisi karya Chairil Anwar setelah acara peresmian dan konser mini "Shalawat" dari Maestro Biola Indonesia, Idris Sardi, yang kini menjadi almarhum.

Direktur Rumah Budaya Fadli Zon saat itu, Elvia Desita menyebutkan, Rumah Budaya tersebut diresmikan pada tanggal 4 Juni 2011 dan keberadaan bangunannya mengandung nilai sejarah serta menarik banyak perhatian berbagai kalangan dan menambah koleksi bangunan bersejarah di Minangkabau.

"Di Rumah Budaya Fadli Zon terdapat setidaknya lebih dari 100 keris Minangkabau yang dikumpulkan dari berbagai daerah di Sumatera Barat selama bertahun-tahun. Koleksi keris ini juga diresmikan keberadaannya di Rumah Budaya pada Minggu, 21 Mei 2011," ujarnya.

Si Binatang Jalang

Sosok Chairil Anwar Situs Wikipedia mencatat bahwa Chairil Anwar adalah seniman Indonesia yang lahir di Medan, Sumatera Utara, pada 26 Juli 1922 dan wafat di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun.

Ia dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang" dikutip dari hasil karyanya yang berjudul Aku.

Ia diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi modern Indonesia.

Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun 1940, di mana ia mulai menggeluti dunia sastra.

Setelah mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis. Puisinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.

Chairil Anwar merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai Bupati Inderagiri, Riau. Ia masih punya pertalian keluarga dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.

Sebagai anak tunggal, orang tuanya selalu memanjakannya, namun, Chairil cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apa pun, sedikit cerminan dari kepribadian orang tuanya.

Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda.

Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, ia tidak lagi bersekolah dan telah bertekad menjadi seorang seniman.

Dalam usia 19 tahun (setelah perceraian orang tuanya), Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia (sekarang Jakarta), di mana ia berkenalan dengan dunia sastra Indonesia.

Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman.

Ia juga mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron.

Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia.

Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan puisinya yang berjudul Nisan pada tahun 1942. Saat itu ia baru berusia 20 tahun.

Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada kematian, namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.

Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.

Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.

Kemudian ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun ia bercerai pada akhir tahun 1948.

Chairil meninggal dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo), Jakarta pada tanggal 28 April 1949. Penyebab kematiannya tidak diketahui pasti, menurut dugaan lebih karena penyakit TBC.

Ia dimakamkan sehari kemudian di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.

Makamnya banyak diziarahi pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

Terpancang harapan besar agar pemerintah mengabulkan usulan menjadikan penyair Chairil Anwar dianugerahi gelar pahlawan nasional sesuai karya-karya besar bidang sastra yang telah turut mewarnai perjuangan Indonesia dalam menghadapi penjajah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI