Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada kematian, namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.
Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.
Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.
Kemudian ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun ia bercerai pada akhir tahun 1948.
Baca Juga: Puncak Macet, Polisi Sarankan Jangan Lewat Jalur Alternatif
Chairil meninggal dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo), Jakarta pada tanggal 28 April 1949. Penyebab kematiannya tidak diketahui pasti, menurut dugaan lebih karena penyakit TBC.
Ia dimakamkan sehari kemudian di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.
Makamnya banyak diziarahi pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
Terpancang harapan besar agar pemerintah mengabulkan usulan menjadikan penyair Chairil Anwar dianugerahi gelar pahlawan nasional sesuai karya-karya besar bidang sastra yang telah turut mewarnai perjuangan Indonesia dalam menghadapi penjajah.
Baca Juga: Libur Panjang, Jalur Puncak Padat Merayap