Suara.com - Massa Front Perjuangan Rakyat (FPR) menggelar aksi unjuk rasa di depan markas Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Senin (10/4/2017).
Aksi itu digelar untuk menuntut pencopotan Ajun Komisaris Besar Danu Wijata Subroto sebagai Kepala Satuan Intelijen dan Keamanan Polres Metro Tangerang Kota. Danu adalah perwira yang menampar perempuan buruh bernama Emilia Yanti Siahaan saat aksi di Tugu Adipura Tangerang, Minggu (9/4).
"Kami menuntut Mabes Polri dan Propam Polda Metro Jaya untuk mengusut tuntas tindak kekerasan tersebut. Kami juga meminta Kanit Intelkam Polres Tangerang Danu W Subroto dipecat," tegas koordinator aksi FPR Rudi HB Daman.
Baca Juga: Propam Polda Tangani Kasus Polisi Tampar Buruh Tangerang
Selain itu, massa aksi juga mengecam aparat kepolisian dan Satpol PP Tangerang yang melakukan pembubaran paksa aksi Serikat Buruh Garmen Tekstil dan Sepatu Gabungan Serikat Buruh Independen (SBGTS-GSBI), Minggu akhir pekan lalu.
Padahal, aksi yang menuntut pemenuhan hak-hak 1.300 pekerja yang dipecat (PHK) sepihak oleh PT Panarub itu sudah secara rutin digelar setiap akhir pekan selama lima tahun terakhir.
Yanti, yang menjadi korban penamparan AKBP Danu, juga tampak ikut serta dalam aksi FPR yang merupakan aliansi sejumlah organisasi massa prodemokrasi berskala nasional. Dia yang didampingi sejumlah perwakilan massa memasuki gedung Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Metro Jaya guna melaporkan tindakan Danu.
Sementara Kapolres Metro Tangerang Kota Komisaris Besar Harry Kurniawan mengungkapkan, anak buahnya itu meminta maaf dan mengaku menampar Yanti karena khilaf.
Baca Juga: Video Viral! Polisi Tangerang Tampar Buruh Perempuan
"Khilaf saja, ya namanya situasi di lapangan kan ada dinamikanya. Mungkin terjadi komunikasi dua arah yang tidak pas, dia khilaf, keceplosan, dia pukul, ditampar lah," kata Harry.
Menurut Harry, Danu sangat menyesali melakukan penganiayaan terhadap Emilia.
"Ya itu kan salah satu penyesalannya, dia mengaku dia khilaf, itu bagus kok. Namanya adat orang timur kan, orang minta maaf itu bagus," tukasnya.
Meski Danu sudah meminta maaf dan mengakui menyesal, Harry mengungkapkan Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Metro Jaya tetap menangani kasus penganiayaan yang dilakukan Danu.
Pihaknya, kata Harry, akan menunggu proses sidang kode etik guna menentukan sanksi yang akan dijatuhkan kepada Danu.
Sementara ini, terang Harry, Danu telah diberikan sanksi teguran oleh Polres Metro Tangerang Kota.
Selengkapnya, tindak penganiayaan itu terjadi ketika polisi dan Satpol PP membubarkan paksa aksi SBGTS-GSBI saat menuntut pemenuhan hak-hak 1.300 pekerja yang dipecat (PHK) sepihak oleh PT Panarub di Tugu Adipura Kota Tangerang, Banten, Minggu.
Bahkan, seorang perwira polisi berinisial DWS berpangkat ajun komisaris besar melakukan aksi penganiayaan terhadap seorang buruh perempuan yang mengikuti aksi tersebut.
Si polisi menampar buruh perempuan yang juga peserta aksi, Emilia Yanti Siahaan. Aksi penganiayaan polisi itu terekam video amatir dan viral di media-media sosial.
“Kami melakukan aksi damai setiap akhir pekan, dan ini sudah berlangsung sejak lima tahun terakhir, seumur kasus PHK sepihak dan tak dipenuhinya hak-hak 1.300 buruh PT Panarub. Tapi, polisi tanpa alasan jelas membubarkan dan memukul kami,” tutur Yanti kepada Suara.com, Minggu malam.
Selain menuntut penyelesaian kasus PHK sepihak, aksi rutin mingguan para buruh juga untuk menentang Peraturan Wali Kota Tangerang Nomor 02 tahun 2017 tentang Larangan Aksi di hari Sabtu dan Minggu.
“Peraturan ini jelas-jelas diskriminatif, melanggar hak rakyat untuk menyampaikan pendapat, serta menegaskan sikap pemerintah yang tidak mau tahu persoalan rakyat. Buktinya, kegiatan hiburan di Tugu Adipura dengan menggunakan pengeras suara yang keras dibiarkan, tapi suara buruh dilarang,” tuturnya.
Ia mengatakan, selain melakukan tindakan pemukulan, poster-poster tuntutan yang dibawa massa aksi juga dirampas.
Koordinator Aksi Kokom Komalawati mengatakan, penamparan terhadap Yanti tersebut terjadi ketika yang bersangutan mendadak dihampiri polisi dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Tangerang.
“Polisi dan Satpol PP mau merampas poster-poster aksi. Yanti lantas maju dan mempertanyakan dasar perampasan itu. Ketika itulah, polisi yang menjabat Kasat Intel Polres Tangerang itu menampar,” tutur Kokom.
Bahkan, kata dia, polisi juga memaki memakai kata-kata yang diluar batas kesopanan terhadap buruh perempuan.
”Mereka memaki kami dengan sebutan goblok, dan lainnya yang merendahkan martabat manusia dan kami sebagai kaum perempuan pekerja,” tukasnya.