Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah mengatakan kalau tidak ada bukti yang kuat, seharusnya polisi jangan menangkap dan menahan Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam Muhammad Al Khaththath sebagai tersangka kasus dugaan pemufakatan makar.
"Jadi dipanggil dulu, panggilan pertama, nggak datang, terus panggilan kedua. Panggilan kedua, nggak datang, panggil ketiga, lalu panggil paksa. Panggil paksa nggak datang, baru bisa ditangkap. Tangkapnya juga harus membawa surat," kata Fahri di DPR, Jakarta, Jumat (31/3/2017).
Fahri menekankan pasal tentang makar tidak bisa begitu saja diterapkan.
"Pasal makar dalam mengkritik pemerintah sudah hilang. Malah, menghina Presiden saja sekarang bukan merupakan pidana otomatis. Ya kan dia dia jadi delik aduan. Kalau Presidennya nggak ngadu, ya orang nggak bisa dipidana karena maki-maki Presiden," katanya.
Fahri mengingatkan kasus delapan tersangka kasus dugaan makar yang ditangkap menjelang aksi 2 Desember 2016. Setelah mereka ditetapkan menjadi tersangka, menurut Fahri, kasusnya sekarang mengambang.
"Yang lain (tersangka 212) juga sudah dilepasin semua. Yang saya takut si Khaththath ini dipanggil cuma buat dimarah-marahin 'lo jangan gitu lagi, kita dimarahin sama bos nih.' Nggak boleh gitu," kata dia.
Fahri mengatakan era demokrasi seperti sekarang sebenarnya kritik mengkritik merupakan hal yang wajar. Dia menyarankan kepada para pengambil kebijakan jangan takut dengan kritikan.
"Dalam demokrasi itu, orang ribut itu hari-hari. Kalau anda nggak mau ribut-ribut, jangan demokrasi. Demokrasi memang negara ribut. Kalau negara senyap, negara otoriter, itu ada di Korea utara," tuturnya.
"Jadi, kuping itu harus tebal kalau demokrasi. Kalau Kuping tipis jangan hidup di Indonesia. Suruh ke Korea utara sana. Jadi rakyatnya Kim Jong Un, cocok dia itu. Begitu presiden lewat tepuk tangan. Kaya boneka orang gila," Fahri menambahkan.
"Jadi dipanggil dulu, panggilan pertama, nggak datang, terus panggilan kedua. Panggilan kedua, nggak datang, panggil ketiga, lalu panggil paksa. Panggil paksa nggak datang, baru bisa ditangkap. Tangkapnya juga harus membawa surat," kata Fahri di DPR, Jakarta, Jumat (31/3/2017).
Fahri menekankan pasal tentang makar tidak bisa begitu saja diterapkan.
"Pasal makar dalam mengkritik pemerintah sudah hilang. Malah, menghina Presiden saja sekarang bukan merupakan pidana otomatis. Ya kan dia dia jadi delik aduan. Kalau Presidennya nggak ngadu, ya orang nggak bisa dipidana karena maki-maki Presiden," katanya.
Fahri mengingatkan kasus delapan tersangka kasus dugaan makar yang ditangkap menjelang aksi 2 Desember 2016. Setelah mereka ditetapkan menjadi tersangka, menurut Fahri, kasusnya sekarang mengambang.
"Yang lain (tersangka 212) juga sudah dilepasin semua. Yang saya takut si Khaththath ini dipanggil cuma buat dimarah-marahin 'lo jangan gitu lagi, kita dimarahin sama bos nih.' Nggak boleh gitu," kata dia.
Fahri mengatakan era demokrasi seperti sekarang sebenarnya kritik mengkritik merupakan hal yang wajar. Dia menyarankan kepada para pengambil kebijakan jangan takut dengan kritikan.
"Dalam demokrasi itu, orang ribut itu hari-hari. Kalau anda nggak mau ribut-ribut, jangan demokrasi. Demokrasi memang negara ribut. Kalau negara senyap, negara otoriter, itu ada di Korea utara," tuturnya.
"Jadi, kuping itu harus tebal kalau demokrasi. Kalau Kuping tipis jangan hidup di Indonesia. Suruh ke Korea utara sana. Jadi rakyatnya Kim Jong Un, cocok dia itu. Begitu presiden lewat tepuk tangan. Kaya boneka orang gila," Fahri menambahkan.