Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Mantan Anggota Komisi II DPR RI Miryam S Haryani untuk hadir dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi proyek pebgadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik, Kamis (30/3/2017) besok. Menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, tinggal satu kesempatan lagi bagi Miryam, jika tidak ingin dipanggil secara paksa.
Politikus Hanura tersebut tidak hadir pada sidang Senin (27/3/2017) lalu. Padahal, saat itu Miryam dijadwalkan untuk dikonfrontasi dengan tiga penyidik KPK.
"Ada satu kesempatan bagi Saksi Miryam untuk berkata jujur," katanya di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (29/3/2017).
Baca Juga: KPK Diminta Awasi Sengketa Pilkada di MK
Febri menambahkan, apabila dalam persidangan esok perempuan kelahiran Indramayu, Jawa Barat tersebut berbohong, maka akan terancam kurungan penjara tujuh tahun. Karena hal tersebut merujuk pada Pasal 22 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
"Karena ada risiko pidananya ada kalau saksi nggak berkata benar," kata Febri.
Sementara tiga penyidik KPK yang akan dikonfrontir langsung dengan Ketua Umum Srikandi Hanura tersebut, Novel Baswedan, Ambarita Damanik, dan Irwan Santoso dipastikan hadir dalam sidang besok.
Seperti diketahui, Miryam dalam dakwaan Terdakwa Irman dan Sugiharto, Miryam mendapatkan perintah dari Chaeruman Harahap yang kala itu Ketua Komisi II DPR untuk mengambil uang dari Sugiharto yang merupakan Pejabat Pembuat Komitmen proyek e-KTP.
Miryam juga merupakan pihak yang membagi-bagikan uang ke pimpinan Komisi II DPR. Sebab, dalam BAP Miryam dapat menjelaskan secara rinci kronologi penerimaan uang dalam proyek e-KTP. Bahkan, Miryam menyebut nama-nama anggota DPR lain yang ikut menerima suap.
Namun pada saat bersaksi di Pengadilan Tipikor beberapa waktu lalu, perempuan kelahiran Indramayu, Jawa Barat tersebut tiba-tiba mencabutnya. Menurutnya karena selama menjalani pemeriksaan ditekan oleh penyidik KPK, sehingga dirinya mengaku tertekan dan asal memberikan keterangan.
Miryam menyebut penyidik KPK menakut-nakutinya dengan mengatakan mereka telah memeriksa dua anggota Fraksi dari Partai Golkar, Aziz Syamsuddin dan Bambang Soesatyo dalam kasus e-KTP.
Di hadapan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, ia mengatakan semua keterangan dalam BAP itu tidak benar. Termasuk mengenai bagi-bagi duit proyek senilai Rp5,9 triliun tersebut.