Majelis hakim meminta pendapat saksi ahli agama Islam Masdar Farid Mas'udi mengenai latar belakang kasus yang menjerat terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
"Menurut ahli sebagai seorang kyai, ini sebetulnya masalah pemilihan gubernur yang salah satu (calonnya) non muslim atau yang justru masalah kata yang diucapkan (Al Maidah ayat 51) itu?" kata hakim dalam persidangan ke 16 di Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Rabu (29/3/2017).
Masdar yang merupakan Rais Syuriah PBNU menjelaskan ihwal kasus tersebut bergulir jelas pidato Ahok yang mengutip surat Al Maidah ayat 51 pada 27 September 2016. Tetapi dari sisi politik, kemudian hal itu menjadi konsumsi lawan politik.
"Pandangan saya karena kata-kata yang diucapkan (Ahok). Tapi kita lihat konteks politiknya. Pasti akan dipakai (oleh lawan politik Ahok)," kata Masdar.
Hakim sependapat dengan pernyataan Masdar. Tapi, hakim masih penasaran karena kasus tersebut dilaporkan ke polisi oleh belasan orang dan dari berbagai daerah, antara lain Bogor dan Makassar.
"Apakah itu terkait politik untuk pemahaman ahli?" kata hakim.
Masdar mengatakan hal semacam itu bisa saja dilakukan oleh lawan politik Ahok. Untuk pendapat ini, Masdar mengaku tidak punya alat bukti.
"Tapi (pelapor Ahok dari luar DKI) untuk mempengaruhi itu (pilkada). Survei saya tidak ada. Tapi menurut saya dia menggunakan itu dalam proses pilkada," kata Masdar.
Masdar juga meyakini demo-demo yang dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan beberapa waktu yang lalu juga memiliki kepentingan politik.
Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman empat tahun penjara.
Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
"Menurut ahli sebagai seorang kyai, ini sebetulnya masalah pemilihan gubernur yang salah satu (calonnya) non muslim atau yang justru masalah kata yang diucapkan (Al Maidah ayat 51) itu?" kata hakim dalam persidangan ke 16 di Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Rabu (29/3/2017).
Masdar yang merupakan Rais Syuriah PBNU menjelaskan ihwal kasus tersebut bergulir jelas pidato Ahok yang mengutip surat Al Maidah ayat 51 pada 27 September 2016. Tetapi dari sisi politik, kemudian hal itu menjadi konsumsi lawan politik.
"Pandangan saya karena kata-kata yang diucapkan (Ahok). Tapi kita lihat konteks politiknya. Pasti akan dipakai (oleh lawan politik Ahok)," kata Masdar.
Hakim sependapat dengan pernyataan Masdar. Tapi, hakim masih penasaran karena kasus tersebut dilaporkan ke polisi oleh belasan orang dan dari berbagai daerah, antara lain Bogor dan Makassar.
"Apakah itu terkait politik untuk pemahaman ahli?" kata hakim.
Masdar mengatakan hal semacam itu bisa saja dilakukan oleh lawan politik Ahok. Untuk pendapat ini, Masdar mengaku tidak punya alat bukti.
"Tapi (pelapor Ahok dari luar DKI) untuk mempengaruhi itu (pilkada). Survei saya tidak ada. Tapi menurut saya dia menggunakan itu dalam proses pilkada," kata Masdar.
Masdar juga meyakini demo-demo yang dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan beberapa waktu yang lalu juga memiliki kepentingan politik.
Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman empat tahun penjara.
Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.