Suara.com - Saksi ahli psikologi sosial Risa Permana Deli mengatakan terdakwa kasus dugaan penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengutip surat Al Maidah ketika pidato di Kepulauan Seribu konteksnya untuk menjelaskan pengalaman pribadinya. Ketika maju ke bursa pemilihan gubernur Bangka Belitung tahun 2007, Ahok berusaha dijatuhkan lewat isu agama.
"Pertanyaan saya sebagai peneliti, kenapa Pak Basuki bisa merujuk pada surat Al Maidah. Satu dia bukan orang muslim, kemudian pertanyaan kedua kenapa itu dikaitkan dengan pilkada. Saya membacanya bagaimana dia merujuk surat Al Maidah," ujar Risa dalam persidangan ke 16 yang berlangsung di Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Rabu (29/3/2017).
Direktur Pusat Kajian Representasi Sosial dan Laboratorium Psikologi Sosial Eropa menilai pernyataan Ahok mengutip surat Al Maidah ayat 51 untuk menceritakan pengalaman masa lalu yang tidak mengenakkan.
"Untuk memojokkan (Ahok) itu dipakai surat Al Maidah. Begitu dia mengatakan surat Al Maidah macam-macam itu di dalam pidato, dia di Pulau Seribu sebetulnya sedang mengeluarkan kembali pengalaman dia yang tidak enak dan satu-satunya yang dia ingat ketika terpojok adalah surat Al Maidah," kata Risa.
Risa menilai apa yang telah dilakukan Ahok sebagai kewajaran dalam konteks menceritakan pengalaman.
"Seandainya pengalaman sebelumnya ketika Basuki dipojokan bukan dengan surat Al Maidah tapi dengan lagu Bengawan Solo, saya yakin Pak Basuki di Pulau Seribu mengatakan jangan pernah mau dibodohi pakai lagu Bengawan Solo," katanya.
Hingga berita ini diturunkan, persidangan masih berlangsung.
Ahok dijerat dengan pasal alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman lima tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman empat tahun penjara.
Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.