Suara.com - Menjelang putaran kedua pilkada Jakarta, muncul ajakan untuk mengikuti aksi bertema Bela Al Quran pada Jumat (31/3/2017). Isu utama yang mereka angkat yaitu menuntut Presiden Joko Widodo mencopot Ahok dari jabatan gubernur karena sudah berstatus terdakwa perkara dugaan penodaan agama.
Rencana aksi tersebut menjadi perhatian ahli psikologi. Mereka khawatir kalau sampai orang-orang dewasa mengajak anak-anak turun ke jalan, dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak, mengingat isunya sangat sensitif dan politis.
Itu sebabnya, ahli psikologi dari Universitas Indonesia Irwanto mengimbau orangtua atau organisasi kemasyarakatan jangan mengajak anak-anak untuk aksi tanggal 31 Maret.
"Lebih baik tidak libatkan anak-anaklah," katanya di Tjikini Lima Cafe, Jalan Cikini Lima, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (28/3/2017).
Memang benar, belum tentu aksi tersebut berdampak negatif kepada anak. Bisa saja anak malah menganggapnya sebagai jalan-jalan. Tapi, daripada beresiki, lebih baik mereka jangan dilibatkan.
"Anak akan menyikapi aksi itu sebagai piknik, tidak terlalu berefek sebenarnya. Tetapi kalau dia menyaksikan kekerasan, ada kata-kata bunuh, gantung, kafir, bukan melihat keluarganya terluka, maka itu akan berpengaruh bagi perkembangan dirinya," katanya.
Di pilkada Jakarta tahun ini, anak-anak sangat rentan terkena efek negatif, mengingatkan isu SARA dan pertikaian menjadi suguhan sehari-hari.
"Kalau pilkada DKI kali ini, bagi saya ini bentuk lain dari tentara anak, anak-anak ditaruh dibaris depan, anak diminta tanggung resiko yang mereka tidak tahu apa resikonya. Dan itu akibat yang diajarkan orang lain. Saya kira ini sangat buruk bagi perkembangan anak," kata Irwanto.
Pengamat pendidikan Henny Supolo menilai efek kampanye pilkada Jakarta sangat buruk bagi pendidikan anak.
"Saya bisa melihat lingkungan pilkada DKI sangat buruk untuk pendidikan, sangat buruk untuk kesadaran kebhinnekaan kita," katanya.